menulis artikel. Dalam sehari ia hampir pasti mencantolkan satu artikelnya pada sebuah media. Dan sekali waktu dua atau tiga artikelnya pun terpajang di sana.Â
Ada cerita tentang seorang penulis yang di-gojlok-i, digoda oleh penulis lain karena produktifnya ia dalamKarena begitu produktifnya penulis ini, ia pun disangka oleh temannya ini, dengan nada bercanda tentunya, memelihara tuyul untuk merampungkan tulisannya. Tuyul-tuyul yang ia ternak dan ia pekerjakan khusus untuk merampungkan sebuah tulisan.Â
Mungkin saja, alasan munculnya candaan ini sebab rekan sesama penulisnya itu sempat menyaksikan film Ghost Writer, entah itu yang versi serius atau versi humornya.Â
Pada intinya, film itu mengisahkan tentang upaya absurd yang ditempuh oleh seorang penulis demi terus meningkatkan produktivitasnya saat berkarya. Termasuk juga cara yang mereka tempuh itu adalah dengan mendayakan jasa sesosok hantu.Â
Dan yang menjadi misteri berikutnya adalah apa iya hantu bisa menulis? Tentu hal ini akan membutuhkan sebuah ulasan dan pembuktian tersendiri untuk menjawabnya.Â
Itulah sedikit pengantar yang saya gunakan untuk memulai tulisan ini, yang kurang lebih intinya adalah berkaitan dengan produktivitas dalam menulis.Â
Meski contohnya bisa saja dianggap sangat ramashook, bagi mereka yang menggunakan nalar sehatnya. Namun, setidaknya ini bisa menjadi gambaran atas keadaan seorang penulis yang berusaha menjaga aktivitasnya dalam berkarya. Halal dan haram? Biarkan nurani mereka sendiri yang menimbangnya.Â
Berkebalikan dari apa yang saya gambarkan di atas, dalam tulisan ini saya hendak mengulas tentang sebuah metode rasional yang bisa ditempuh oleh seorang penulis demi menjaga ritme mereka dalam berkarya.Â
Sebagai seorang penulis yang mungkin memperoleh inspirasi darimana saja dan kapanpun datangnya, maka ia pun hendaknya selalu menyediakan media tertentu untuk menangkap ide maupun inspirasi yang datangnya sewaktu-waktu itu.Â
Apalagi dengan keberadaan teknologi gawai yang ada pada saat ini, menjadikan aktivitas mencatat ini kian mudah dilakukan. Begitu mudahnya aktivitas ini hingga ia dapat dilakukan melalui 61 jari seorang penulis.Â
Sebentar, sebentar. 61 jari? Ya. Benar. 61 jari. Sebutan menulis dengan 61 jari ini adalah sebuah istilah lain dari apa yang kita kenal dengan menulis kapan saja dan dimana saja. Lantas, bagaimana asal-usul istilah ini?Â
Begini. Sebenarnya istilah ini hanyalah karangan saya saja yang biasa mengetik pada gawai dengan menggunakan ibu jari dari tangan kiri dan jari telunjuk tangan kanan. Atau barangkali pembaca Kompasiana juga memiliki kebiasaan yang sama dengan saya?Â
Seperti yang telah kita tahu, jika kita mengenang masa-masa awal belajar ilmu matematika dulu, ibu jari biasa digunakan oleh guru kita untuk menyimbolkan angka enam. Sedangkan jari telunjuk biasa beliau pakai sebagai wakil dari angka satu. Sehingga dari sini persoalannya menjadi lebih jelas, 61. Ya. Mengetik cukup dengan dua jari.Â
Siapapun tentu boleh berbeda pendapat mengenai anggapan saya terkait penyimbolan angka melalui jari ini. Namun, sebenarnya titik tekan bahasan saya kali ini bukanlah pada penyimbolan itu, akan tetapi lebih pada uraian tentang sebuah kesempatan menulis kapan saja dan dimana saja dengan berbekal fasilitas yang kita miliki.Â
Saat ini, dengan kita sadari atau tidak, keberadaan gawai telah menjadikan aktivitas menulis menjadi jauh lebih fleksibel dari waktu sebelumnya.Â
Dahulu, jika aktivitas menulis harus kita lakukan dengan terikat pada media pena dan kertas, mesin tik, komputer, laptop, maka sekarang kita pun sudah dapat menuntaskannya melalui gawai yang ada dalam genggaman.Â
Keberadaannya yang mungil dan sangat ringkas itu menjadikan siapa saja berkesempatan melakukan aktivitas tulis menulis di sembarang tempat. Bahkan, pada tempat terekstrem sekalipun, di WC, misalnya. Hehe.Â
Saya mencontohkan hal ekstrem ini bukan berarti untuk menyarankannya. Akan tetapi sekadar untuk menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu mungkin saja seorang penulis yang berjiwa ekstrem akan melakukannya. Dan yang pasti penulis itu bukanlah saya.Â
Selain itu, hal yang biasa dijadikan pertimbangan oleh seorang penulis pada saat berkarya adalah kenyamanan. Manakah diantara media yang telah ada ini yang dianggap paling nyaman untuk menemani aktivitas mereka pada saat menulis.
Kondisi kenyamanan yang diperoleh para penulis pada saat menggunakan medianya itu tentu akan berbeda, yang pada umumnya dipengaruhi oleh latar belakang mereka masing-masing.Â
Jadi, untuk ukuran kemudahan dan kenyamanannya saat mengggunakan media pun bisa saja akan sangat relatif dan subjektif antara satu penulis dengan penulis lain.Â
Ada penulis yang merasa sangat nyaman saat mengetik dengan menggunakan laptop. Sebab merasa akses jemari mereka lebih luas pada saat menjamah papan tik sehingga kerja menulis dianggap menjadi lebih cepat kelar.Â
Selain itu ada juga keunggulan tampilan layar yang lebih lebar (dibanding telepon pintar); serta kesan lebih fokus dalam berkarya, dibandingkan mengetik pada gawai.Â
Sementara itu, mereka yang menikmati mengetik pada gawai juga memiliki alasan kenyamanannya tersendiri: dapat dilakukan dimana saja, kesan bekerja secara luwes dan non-formal, lebih cepat menangkap ide yang datangnya sewaktu-waktu, dan sebagainya.Â
Terlepas media apa yang paling nyaman untuk mereka pilih, dari masing-masing selera itu tentu memiliki keunggulan dan kekurangannya sendiri.Â
Dan berdasarkan pengalaman saya pribadi pada akhir-akhir ini, saya merasa lebih nyaman manakala menggunakan gawai untuk menulis tulisan yang mungkin akan selesai dalam sekali duduk, seperti artikel yang saya sajikan untuk Kompasiana ini.Â
Sementara itu untuk mengerjakan tulisan yang relatif cukup lama pengerjaannya, seperti saat mengerjakan tugas makalah atau tulisan formal-ilmiah lainnya, saya lebih nyaman menggunakan laptop.Â
Sebenarnya saya bisa saja mengerjakan makalah pada gawai sehingga saya bisa menuliskannya dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan aplikasi notes atau google docs.Â
Namun, saat ini saya belum sampai pada tahap itu. Dan tentu saja, untuk membiasakannya saya harus lebih mengakrabkan diri untuk menulis pada gawai, sebagaimana ketika saya belajar menulis artikel melalui gawai pada masa terdahulu.
Dan pada umumnya, untuk mengakrabkan diri dengan sebuah kebiasaan baru tentu butuh waktu tersendiri. Seberapa lamanya itu, saya tidak bisa memastikannya.Â
Namun, setidaknya kehadiran gawai ini telah menjadikan penggunanya lebih akrab saat menuangkan tulisan pada sebuah telepon pintar. Dan, secara perlahan yang mungkin saja tidak mereka sadari, tulisan mereka pada gawai itu pun kian berkembang dari waktu ke waktu.
Dari sekadar untuk membalas chat, berkembang menjadi kebiasaan menulis sebuah puisi. Kemudian berlanjut menjadi terbiasa menyusun sebuah artikel, membuat makalah. Bahkan, mungkin saja darinya akan terlahir sebuah karya yang siap dibukukan, pada saatnya nanti.Â
Apakah hal demikian mungkin akan terjadi? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H