Sementara itu, jika kita menyerah di tengah perjalanan ini, kita bisa jadi akan memperoleh kenyamanan dan rasa aman yang sifatnya sementara, yang di sisi lain, kemampuan diri kita cenderung tidak akan berkembang. Itulah contoh sederhana bagi mereka yang berjuang dalam dunia kepenulisan yang mungkin saja konteksnya dapat dibawa pada bahasan yang lebih luas.Â
Pada pihak yang lain, yakni mereka yang menganggap rutinitas sebagai lazimnya pekerjaan yang dilakukan sehari-hari, maka ia akan menjalaninya dengan mengalir begitu saja seakan tanpa hambatan yang berarti. Ia mudah menjalaninya sebab telah paham betul dengan hulu-hilir, dan rintangan dalam perjalanan aktivitasnya.Â
Seperti, ketika berangkat bekerja, ya, tinggal berangkat saja. Mau ke sekolah, ya, tinggal ke sekolah saja. Mau beribadah, ya, tinggal beribadah saja. Orang kategori "mengalir" ini menjadikan rutinitasnya berjalan begitu saja, baik dengan mereka sadari atau tidak, rutinitas ini seakan berjalan spontan seperti halnya ketika mereka bernafas.Â
Posisi pihak yang senang mengalir ini sebenarnya tidak salah dan bahkan di satu waktu juga dapat dikatakan baik. Sebab mereka memiliki kemampuan untuk menjaga ritme keinginan untuk merampungkan pekerjaan mereka dengan diiringi kemampuan diri mereka. Dan lebih dari itu, mereka membuktikan karya mereka dengan tercapainya seluruh tanggung jawab diamanahkan.Â
Meski terkadang kelompok mengalir dianggap sebagai pihak yang kurang kreatif, namun bisa jadi inilah kehebatan tersembunyi yang mereka miliki dan tidak disadari oleh siapa pun, yakni konsistensi atau keistiqamahan mereka dalam berkarya.Â
Adapun kelompok terakhir diisi oleh pihak yang rentan menjadi masalah bagi diri mereka sendiri maupun pihak lain, yakni mereka yang sudah mulai atau bahkan telah memiliki rasa bosan yang akut atas segala rutinitasnya. Rasa bosan inilah yang jika tidak segera mereka selesaikan akan berpeluang memicu kondisi runyam di kemudian hari.Â
Kondisi runyam ini biasanya berkaitan dengan masalah produktivitas dan kualitas dari setiap karya-karya yang dihasilkan. Dengan hilangnya gairah dalam menjalani rutinitas itu berpotensi menjadikan mereka kehilangan arti dalam setiap pekerjaan.Â
Lantas, bagaimana jika hal ini terjadi pada diri kita?Â
Disadari atau tidak rutinitas terkadang memang berpotensi menjemukan pada diri siapa saja, tak terkecuali pada diri saya, jika kita belum memaknai hikmah yang berada di baliknya.Â
Apa sajakah hikmah yang dapat kita petik dari rutinitas itu?Â
Pertama, kita harus menyadari bahwa rutinitas itu telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup kita. Misalnya kita butuh makan agar tetap hidup, butuh bekerja agar tetap mendapatkan gaji demi memenuhi kebutuhan, butuh beribadah untuk memenuhi kebutuhan jiwa kita, butuh bersosialisasi untuk menghidupkan jiwa sosial kita, dan seterusnya.Â