Pertanyaan seperti ini tentu berpotensi melahirkan diskusi yang panjang. Terutama jika kita melihat latar belakang orang yang memandangnya. Sehingga kemungkinan kita akan mendapati tiga jenis kubu pandangan: bisa, tidak bisa, dan tidak tahu (untuk tidak disebut cuek saja).Â
Meski tema ini sebagian orang menganggapnya sudah basi, namun perihal yang berbau syariah selalu menyisakan aroma pengetahuan yang wangi untuk dikaji siapa saja sebagai pelajaran dan upaya untuk mempertebal ketaqwaan.Â
Dan dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengungkap kemungkinan alasan dari masing-masing tiga kubu tersebut. Yakni mereka yang berkeyakinan optimis bisa, menyatakan "die hard" tidak bisa, maupun pihak yang tidak mau menanggapinya (sebab tidak tahu atau tidak mau tahu).Â
Kelompok yang menganggap berutang tanpa riba itu bisa
Contoh faktual dari kubu ini adalah manakala seseorang berutang pada keluarga, kerabat, tetangganya, atau orang terdekatnya. Bisa saja, karena alasan kemanusiaan, belas kasihan, dan rasa tidak tega, pinjaman itu akan diberikan begitu saja. Tanpa mengharap imbalan bunga dari orang yang meminjamnya.
Tentu saja, meminjam pada pihak-pihak ini adalah langkah yang aman bagi pihak peminjam demi menstabilkan kondisi finansial, baik itu secara individu, keluarga, ataupun kelompok bisnis (perusahaan).Â
Namun, meminjam pada pihak terdekat ini jelas tetap memiliki risiko. Yakni manakala seseorang tidak mampu memelihara kepercayaan dari pihak yang memberi pinjaman. Amanah itulah yang harus senantiasa dijaga oleh pihak peminjam demi menjaga marwah ukhuwah dalam keluarga-persahabatan agar tidak mengalami gangguan.Â
Dan manakala mereka yang berutang itu tak mampu menjaga kepercayaan itu, akibatnya adalah mereka akan rentan mengalami keretakan dalam hubungan persaudaraan dan persahabatan itu. Tentu saja, hal demikian adalah nilai yang tidak sepadan dengan materi yang barangkali nilainya tidak seberapa besar dibandingkan dengan hubungan baik yang telah terjalin sebelumnya.Â
Kelompok yang menganggap utang tanpa riba itu tidak mungkin bisa
Mungkin saja akan banyak argumentasi yang digunakan oleh kelompok ini. Namun, banyaknya argumentasi ini bukan berarti praktik utang dengan bunga atau riba harus diterima adanya. Sebab, bagaimana pun riba adalah transaksi haram yang harus dihindari oleh siapa saja.Â
Diantara alasan yang barangkali akan mereka gunakan adalah:
Pertama. Nilai riil mata uang cenderung turun dari waktu ke waktu, terutama jika kita membandingkan nilai mata uang rupiah terhadap valuasi dolar. Dengan adanya penurunan nilai mata uang rupiah ini, pada akhirnya beberapa lembaga keuangan membuat kebijakan proteksi aset likuid mereka, yakni uang, dengan cara menetapkan tarif bunga.Â
Mereka akan membebankan bunga kredit kepada pihak peminjam agar nilai uang atau aset lancar mereka itu tidak tergerus oleh penguatan nilai dolar. Dan jika ada margin yang lebih tinggi pada bunga kredit itu dibandingkan dengan persentase penguatan nilai dolarnya, maka itulah keuntungan operasional yang akan diperoleh lembaga keuangan.Â
Kedua. Hampir tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang dapat melepaskan diri dari uang, kecuali, mungkin, seorang zuhud yang melepaskan diri sepenuhnya dari ikatan dunia.Â
Pada dasarnya, uang merupakan komoditas yang dikeluarkan oleh pihak bank untuk mempermudah transaksi perekonomian. Dan kita pun tahu bahwa pihak bank memiliki kebijakan dalam menerapkan bunga, margin, atau nisbah atas pinjaman yang mereka berikan pada nasabah.Â
Dengan demikian, uang yang notabene-nya merupakan produk dari bank sentral ini merupakan sebuah komoditas yang akan akrab dengan bunga dan potensi riba.Â
Kemudian, pertanyaan penegas dari kelompok kedua ini adalah, apakah ini berarti bahwa siapa saja yang menggunakan uang akan selamat dari stigma sebagai pengguna produk ribawi?Â
Tentu saja, jawabannya adalah sulit dan bahkan tidak mungkin, sebab uang merupakan komoditas teramat penting peranannya untuk mempermudah transaksi antar pihak yang melakukan kegiatan perekonomian. Lantaran keberterimaannya di kalangan masyarakat luas pada wilayah tertentu. Sehingga, dari alasan inilah, penggunaan uang masih diperbolehkan dalam ajaran agama sebab ia memiliki peran penting untuk mempermudah transaksi perekonomian masyarakat, meski jika ditelusuri lebih lanjut, bisa saja akan 'berbau' ribawi.
Dan, jika kita melihat lebih jauh lagi, dengan adanya utang negara kita pada lembaga keuangan internasional, tentunya kita juga akan mendapati bahwa pihak ini tidak dapat melepaskan persentuhannya dengan bunga. Kecuali, jika negara kita meminjam dana pada lembaga keuangan yang telah menghapuskan sistem bunga. Namun, sejauh ini apakah benar lembaga keuangan semacam itu sudah ada?Â
Dan, jika ditelusuri lebih lanjut, hal itu kemungkinan masih akan sulit terjadi, entah sampai berapa lama masanya.Â
Ketiga. Adanya pola pikir masyarakat yang cenderung beragam. Seperti, menganggap bunga sebagai upaya untuk melindungi nilai mata uang agar tidak tergerus oleh laju inflasi, meskipun kita pun tahu bahwa nilai bunga seringkali kebablasan atau sengaja dibablaskan. Dan dari kebablasan itulah yang akan menjadi ladang keuntungan pada pihak tertentu, misalnya, rentenir dan lembaga keuangan.Â
Jika ada dasar perhitungan yang logis, realistis, dan transparan dengan mengacu faktor inflasi, saya kira tidak mengapa ada perubahan atau penambahan atas nilai pinjaman, sebab nilai mata uang pun juga memiliki kecenderungan yang kian melemah dari waktu ke waktu.Â
Namun, hal ini tetap harus digaris-bawahi bahwa penambahan itu adalah sebab melemahnya nilai tukar mata uang. Artinya, jika mata uang tidak mengalami pelemahan nilai, maka nilai pinjaman pun tidak boleh ditambahi. Sebab ini merupakan bentuk riba yang nyata.Â
Ketiga. Mereka yang menyatakan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu
Jika alasannya tidak tahu, maka hal ini pun dapat dimaklumi, sebab urusan riba ini memang merupakan perihal yang pelik namun 'legit' pada saat dipraktikkan oleh para pelaku bisnis.
Dan selama seseorang, pihak korporasi, lembaga keuangan senantiasa berkeinginan untuk belajar dan mengevaluasi diri untuk meneliti praktik ribawi ini dalam aktivitas usaha mereka, tentu akan selalu ada upaya untuk semakin menghindari praktik ini. Khususnya dengan selalu mengingat bahwa Baginda Rasul pun telah melaknat para pelaku, pencatat, saksi, dan orang mewakili transaksi haram ini.Â
Sementara itu, mereka yang bersikap pura-pura tidak tahu ini mungkin saja karena sudah terlalu bosan mendengar bahasan ini yang dianggap cenderung kurang berkembang baik konsep maupun praktiknya dari waktu ke waktu.Â
Misalnya saja, mereka banyak mendapati sebuah lembaga yang menyatakan diri tidak mengharapkan bunga namun masih mendambakan tambahan dari pinjaman yang diberikan dengan akad kerjasama usaha.Â
Baik. Jika yang dijadikan dalih adalah akad kerjasama, apakah si pemberi pinjaman sedemikian teganya mengambil keuntungan dari mitranya dengan nilai yang tetap sekalipun pihak peminjam itu sedang mengalami usaha yang pasang surut. Dan tidak jarang, kondisi perusahaan itu adalah lebih banyak mengalami surutnya dibandingkan pasangnya.Â
Bukankah lebih adil jika memang yang digunakan adalah akad bagi hasil, maka yang dipraktikkan adalah bagi hasil dengan cara yang adil. Pada saat perusahaan mitra sedang mengalami keuntungan yang lebih, maka bagi hasilnya pun meningkat, dan demikian pula sebaliknya.
Saya kira inilah konsep nisbah yang sepatutnya dapat dipraktikkan oleh lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah dalam usahanya. Sebab ada keberimbangan antara pihak yang terlibat di dalamnya berdasarkan kondisi riil yang tengah mereka alami pada saat itu.Â
Dan manakala keseimbangan ini tidak dapat dilaksanakan, saya khawatir konsep syariah ini hanya akan dianggap sebagai komoditas formalitas yang akan meramaikan pasar dengan seolah-olah mengikuti apa yang tengah menjadi trend-nya.Â
Musimnya konvensional ikut konvensional, dan ketika musimnya syariah ikut syariah. Dan tentunya kita tidak menghendaki jika konsep syariah, khususnya utang tanpa riba ini hanya sekadar menjadi trend dan formalitas, sementara konsep maupun aplikasinya tidak mengalami pembenahan yang signifikan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H