Namun, hal ini tetap harus digaris-bawahi bahwa penambahan itu adalah sebab melemahnya nilai tukar mata uang. Artinya, jika mata uang tidak mengalami pelemahan nilai, maka nilai pinjaman pun tidak boleh ditambahi. Sebab ini merupakan bentuk riba yang nyata.Â
Ketiga. Mereka yang menyatakan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu
Jika alasannya tidak tahu, maka hal ini pun dapat dimaklumi, sebab urusan riba ini memang merupakan perihal yang pelik namun 'legit' pada saat dipraktikkan oleh para pelaku bisnis.
Dan selama seseorang, pihak korporasi, lembaga keuangan senantiasa berkeinginan untuk belajar dan mengevaluasi diri untuk meneliti praktik ribawi ini dalam aktivitas usaha mereka, tentu akan selalu ada upaya untuk semakin menghindari praktik ini. Khususnya dengan selalu mengingat bahwa Baginda Rasul pun telah melaknat para pelaku, pencatat, saksi, dan orang mewakili transaksi haram ini.Â
Sementara itu, mereka yang bersikap pura-pura tidak tahu ini mungkin saja karena sudah terlalu bosan mendengar bahasan ini yang dianggap cenderung kurang berkembang baik konsep maupun praktiknya dari waktu ke waktu.Â
Misalnya saja, mereka banyak mendapati sebuah lembaga yang menyatakan diri tidak mengharapkan bunga namun masih mendambakan tambahan dari pinjaman yang diberikan dengan akad kerjasama usaha.Â
Baik. Jika yang dijadikan dalih adalah akad kerjasama, apakah si pemberi pinjaman sedemikian teganya mengambil keuntungan dari mitranya dengan nilai yang tetap sekalipun pihak peminjam itu sedang mengalami usaha yang pasang surut. Dan tidak jarang, kondisi perusahaan itu adalah lebih banyak mengalami surutnya dibandingkan pasangnya.Â
Bukankah lebih adil jika memang yang digunakan adalah akad bagi hasil, maka yang dipraktikkan adalah bagi hasil dengan cara yang adil. Pada saat perusahaan mitra sedang mengalami keuntungan yang lebih, maka bagi hasilnya pun meningkat, dan demikian pula sebaliknya.
Saya kira inilah konsep nisbah yang sepatutnya dapat dipraktikkan oleh lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah dalam usahanya. Sebab ada keberimbangan antara pihak yang terlibat di dalamnya berdasarkan kondisi riil yang tengah mereka alami pada saat itu.Â
Dan manakala keseimbangan ini tidak dapat dilaksanakan, saya khawatir konsep syariah ini hanya akan dianggap sebagai komoditas formalitas yang akan meramaikan pasar dengan seolah-olah mengikuti apa yang tengah menjadi trend-nya.Â
Musimnya konvensional ikut konvensional, dan ketika musimnya syariah ikut syariah. Dan tentunya kita tidak menghendaki jika konsep syariah, khususnya utang tanpa riba ini hanya sekadar menjadi trend dan formalitas, sementara konsep maupun aplikasinya tidak mengalami pembenahan yang signifikan.Â