"Sebentar lagi pesta akan dimulai. Masuklah kamar!"
Suaranya terdengar jelas. Suara perempuan tua dengan nada parau dan mengancam. Suara tanpa rupa itu membuat bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegup tidak karuan. Kutepuk pipiku untuk memastikan kalau aku tidak sedang melamun.
Pesta? Pesta apa malam-malam begini? Tanpa berpikir panjang, aku segera beranjak ke kamar yang berukuran 4x5 m. Namun, baru sampai pintu kamar, aku mendengar suara orang-orang mengobrol di teras rumah. Celetukannya tidak terdengar jelas, saling menimpali. Suaranya mirip anak-anak bule. Ah, ya, sepertinya itu bahasa Belanda. Aku sedikit paham bahasanya karena saat kuliah pernah ikut mata kuliah bahasa Belanda meski hanya dua sks.
Lalu, kenapa malam-malam ada bule nyasar ke mari? Apa mungkin saudara-saudaranya Pak Dukuh datang. Konon, yang pernah kudengar dari pemuda kampung, istri Pak Dukuh masih keturunan Belanda, entah keturunan yang ke berapa.
Aku jadi teringat cerita Mbah Mitro.
"Waktu zaman pendudukan Jepang, banyak orang Belanda yang tinggal di sini dipaksa pulang ke negara asalnya, padahal banyak orang Belanda yang sudah beranak pinak di sini. Sejak lahir tinggal di sini, dan mungkin di negeri asalnya mereka tidak punya saudara dan tempat tinggal lagi," cerita Mbah Mitro sambil menerawang pada kejadian masa lalunya.
"Mereka diburu. Tak hanya oleh tentara Jepang dan sekutunya, tetapi para ekstrimis pemuda kita yang ingin melenyapkan orang-orang Belanda dengan cara yang keji. Di rumah yang kau tempati itulah keluarga istri Pak Dukuh dihabisi," Â kata Mbah Mitro sambil menghela napas panjang. Butiran air mata meleleh membasahi pipinya yang keriput.
Mengingat cerita Mbah Mitro, aku bergidik. Bulu kudukku merinding. Ke manakah teman-temanku? Mengapa selarut ini mereka belum pulang? Duh, aku yang selalu berpikir rasional, kini benar-benar mati kutu.
Sementara itu, di luar semakin berisik. Ada suara anak menangis, berlari-lari, dan teriakan histeris khas anak. Sepertinya jumlah mereka semakin bertambah. Segera aku masuk kamar. Kututup pintu rapat-rapat, lalu bersembunyi di balik guling. Kututupi tubuhku dengan sarung dan berharap semoga semua ini hanyalah mimpi. Sialnya, semakin aku berusaha pejamkan mata, semakin suara anak-anak bule terdengar jelas.
Oh, suara anak-anak itu kini berada di ruang tengah. Sambil tertawa-tawa mereka memainkan mesin tik. Dari balik celah pintu, aku melihat lampu ruang tengah nyala mati, nyala mati. Tak lama kemudian suasana hening. Selepas itu terdengar mereka menyanyi. Nada suaranya seperti lagu "Panjang Umurnya" yang setiap ulang tahun sering anak-anak nyanyikan.
Lang zal ze leven (Panjang umurnya)