Suatu siang bersama sahabat yang sedang merasa terpuruk lungkrah.
"Sekarang sih, saya mau fokus aja sama diri sendiri, udah capek!"
"O, bagus" Sahut saya.
Saya tidak punya ide untuk menimpali panjang lebar keluhannya selain komentar pendek saja.
Sungguh saya tidak tahu kebisingan macam apa yang tengah menyeret pikirannya sehingga ujuk-ujuk ia mengeluh seperti itu, tapi bahwa sesuatu sedang tak tertanggung pundak batinnya, jelas tidak bisa ia tutupi; air matanya deras dan ia perlu beberapa kali mengusapnya.
Bukan isaknya yang bikin saya banyak diam mendalam saat itu, Â tentu bukan juga larut dalam kesedihannya. Tetapi karena celoteh pikiran saya, "memangnya kita pernah tidak fokus pada diri sendiri? Kapan kita pernah absen memikirkan, mementingkan diri sendiri, gila perhatian, me first?"
Saling serobot di jalan raya, bukankah lantaran setiap diri merasa hanya ia yang boleh dan mesti tiba lebih cepat, lebih dulu, harus ia yang tepat waktu ke tempat yang hendak dituju?
Di tempat layanan umum, si diri adalah ia yang tidak mau dianggap umum dan biasa. Pelayanan (meski) untuk umum, wajib punya pojok-pojok yang menyediakan keistimewaan untuknya, untuk itu ia akan cari relasi, koneksi, channel yang akan memberinya perhatian dan kekhususan layanan--red carpet.
Si diri adalah ia yang di rumah ingin dianggap sebagai tulang punggung, pusat kehidupan, penentu, imam, berjasa besar dan punya hak menerima gratifikasi dari lelaki atau perempuan yang ia nikahi, pun dari anak-anaknya: sembah bakti.
Munajatnya pada yang Maha pengasih, penyayang: "Ilahi, berikanlah, curahkanlah, limpahkanlah, tumpahkanlah dan keruniakanlah segala yang terbaik bagiku". Nyaris tidak  mungkin si diri memanjat: "Gusti, duhai Al-Abror yang tidak tercurah darinya kecuali cinta, bukan kebaikan bukan keburukan, untuk itu segala dariMu tidak ada keburukan tidak pula kebaikan".
Sementara, ketika si diri dikepruk kehidupan, diri sudah tidak mungkin keluar dari pola tindakannya. Ia hanya bisa melakukan satu tindakan yang sudah mapan: mementingkan dirinya sendiri. Adapun bila nampak ia bermurah hati pada orang lain, itu masih dalam rangka untuk dirinya: menabung pahala, koleksi karma, kompensasi jiwa.
Kesepian
Selfish tentu membawa hasil lain bila itu berada pada dimensi dan konteks kebudayaan di mana diri menghadapi tenggat dan komitmen menyangkut kewajiban dan capaian-capaian yang telah melalui kesepakatan sosial. Selfish sudah seperti jadi tuntutan tak tertulis dan kebutuhan yang mengantar tugas dan pekerjaan terselesaikan; para motivator malah memastikan: selfish adalah gerbang kesuksesan. Tapi tak dapat juga dibendung bahwa ada rembesan lain dari capaian di atas yang menggenangi ruang psikologi kita.
Fokus pada diri sendiri menyiratkan keputusan mengalienasi sejauh-jauhnya dari kehidupan. Suatu pengasingan dalam penjara yang jerujinya adalah diri-diri kecil.Â
Alih-alih jadi penawar segala kecapekan batin, pengasingan diri (baca: fokus pada diri sendiri) membawanya pada kehampaan. Semakin fokus pada diri sendiri semakin diri menuju kesepian yang hebat, dan "penyakit kesepian" ini adalah "pembunuh" yang bertumbuh lebih cepat dari virus.
"Penyakit kesepian" dicatat Robert Holden dalam bukunya "Success Intellegence"Â :
"Teridentifikasi sebagai disebabkan oleh atau menghasilkan gejala-gejala kesepian yang kronis, pemisahan yang menyakitkan, dan keterpisahaan yang mencemaskan. Penyakit-penyakit kesepian ini meliputi depresi, stres, kanker, AIDS, penyakit jantung, narsisme dan bunuh diri--keseluruhannya telah meningkat tajam dalam "zaman keemasan" aspirasi yang memuncak dan individualisme yang berlebihan".
Dean Ornish, Kardiolog seperti masih dikutip Holden juga,"Wabah sesungguhnya dalam budaya kita bukan hanya penyakit jantung fisikal kita, melainkan juga apa yang saya sebut penyakit jantung emosional dan spiritual--yaitu, perasaan kesepian, tersisih, terasing dan depresi mendalam, yang begitu jamak dalam budaya kita dengan runtuhnya struktur sosial yang dulu memberi kita perasaan terhubung dan berkomunitas".
Modus jalan berputar yang diambil oleh si diri dalam mengatasi badai kesepiannya adalah dengan identifikasi diri: meng-aku pada segala kesementaraan. Cara ini dirasa memberinya isi pada sumur kehampaannya, memberi keramaian palsu dan rasa berada untuk bertahan hidup secara nelangsa dalam keterasingannya.
Yoan Tanamal, penyanyi cilik di era 80-an telah melantunkan dengan empatik identifikasi diri dan kesepian yang ingin diatasinya:
Aku sedih, duduk sendiri
Mama pergi, Papa pergi
O itu dia mereka datang
Aku senang, hatiku riang
Bukan ketiadaan mama, papa atau kesendirian yang sejatinya sebagai sumber kesedihan, tetapi pemusatan dan pementingan diri untuk menjadi perhatian dan diperhatikan muara sebenarnya dari mana kesedihan itu berasal.
Berfokus pada diri sendiri adalah bongkahan keinginan untuk membuat kesan, bukan mencipta hubungan, mendamba dikagumi bukan keintiman, ambisi menang bukan perkhidmatan (Holden- 2007).
Allahumma yaa kaafiyal fardil dlo'iifi
Duh, Gusti pemelihara bagi yang kesepian dan lemah, tidak ada penjara kesepianku kecuali aku sendiri jerujinya.
Kang abi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H