Kesepian
Selfish tentu membawa hasil lain bila itu berada pada dimensi dan konteks kebudayaan di mana diri menghadapi tenggat dan komitmen menyangkut kewajiban dan capaian-capaian yang telah melalui kesepakatan sosial. Selfish sudah seperti jadi tuntutan tak tertulis dan kebutuhan yang mengantar tugas dan pekerjaan terselesaikan; para motivator malah memastikan: selfish adalah gerbang kesuksesan. Tapi tak dapat juga dibendung bahwa ada rembesan lain dari capaian di atas yang menggenangi ruang psikologi kita.
Fokus pada diri sendiri menyiratkan keputusan mengalienasi sejauh-jauhnya dari kehidupan. Suatu pengasingan dalam penjara yang jerujinya adalah diri-diri kecil.Â
Alih-alih jadi penawar segala kecapekan batin, pengasingan diri (baca: fokus pada diri sendiri) membawanya pada kehampaan. Semakin fokus pada diri sendiri semakin diri menuju kesepian yang hebat, dan "penyakit kesepian" ini adalah "pembunuh" yang bertumbuh lebih cepat dari virus.
"Penyakit kesepian" dicatat Robert Holden dalam bukunya "Success Intellegence"Â :
"Teridentifikasi sebagai disebabkan oleh atau menghasilkan gejala-gejala kesepian yang kronis, pemisahan yang menyakitkan, dan keterpisahaan yang mencemaskan. Penyakit-penyakit kesepian ini meliputi depresi, stres, kanker, AIDS, penyakit jantung, narsisme dan bunuh diri--keseluruhannya telah meningkat tajam dalam "zaman keemasan" aspirasi yang memuncak dan individualisme yang berlebihan".
Dean Ornish, Kardiolog seperti masih dikutip Holden juga,"Wabah sesungguhnya dalam budaya kita bukan hanya penyakit jantung fisikal kita, melainkan juga apa yang saya sebut penyakit jantung emosional dan spiritual--yaitu, perasaan kesepian, tersisih, terasing dan depresi mendalam, yang begitu jamak dalam budaya kita dengan runtuhnya struktur sosial yang dulu memberi kita perasaan terhubung dan berkomunitas".
Modus jalan berputar yang diambil oleh si diri dalam mengatasi badai kesepiannya adalah dengan identifikasi diri: meng-aku pada segala kesementaraan. Cara ini dirasa memberinya isi pada sumur kehampaannya, memberi keramaian palsu dan rasa berada untuk bertahan hidup secara nelangsa dalam keterasingannya.
Yoan Tanamal, penyanyi cilik di era 80-an telah melantunkan dengan empatik identifikasi diri dan kesepian yang ingin diatasinya:
Aku sedih, duduk sendiri
Mama pergi, Papa pergi