Mohon tunggu...
kang abi
kang abi Mohon Tunggu... Relawan - Penggagas komunitas DUDUK DIAM

Pernah membawakan program siaran Sound Of Spirit (SOS) di radio Mustang 88FM jakarta (tahun 2004-2017). Penulis Buku Get Real ( Gagas media)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dalam Ketakutan Kita Menjadi Bodoh

8 Maret 2020   19:57 Diperbarui: 8 Maret 2020   19:56 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketakutan membuat batin gelap dan kalap. Karena itu ketakutan juga berarti kebodohan batin. 

Tak heran orang yang ketakutan jadi terlihat tolol. Buddha melukiskannya sebagai berikut: seakan engkau tengah bergelantung pada sebuah dahan di kegelapan malam, sehingga engkau tidak mampu melihat apa yang ada di bawahmu, suatu daratankah atau lautan. Engkau selalu ketakutan akan jatuh. 

Sementara engkau terus bertahan bergelantung di dahan pohon, sambil terus dirajam dan tersiksa oleh ketakutanmu. Hingga berapa lama engkau mampu terus bertahan bergelantung? Sampai kapan dapat bertahan sebelum akhirnya engkau turun? 

Begitu akhirnya datang cahaya, fajar menjelang, semburat matahari berbagi, engkau melihat betapa ketakutan adalah kebodohan yang mencekam, menghantui dan menyiksa -- dibawahmu hanya hamparan daratan belaka (Inayat Khan-Dimensi Spiritual Psikologi).

Terlalu sering dalam kehidupan, ketololan lantaran ketakutan dipertontonkan. Sebut saja apa yang saya sendiri pernah lakukan. Misalnya, bagaimana saya dan para relawan lainnya kocar-kacir ngacir dan meninggalkan dua orang tua begitu saja, tanpa memedulikan keselamatannya (teringat padanya pun tidak) pada dini hari di akhir Oktober 2010, ketika sirena meraung-raung tanda gunung Merapi erupsi.

Betapa tidak bodoh, kedua orang tua suami istri itu adalah tuan rumah yang menyediakan rumahnya untuk posko kami, yang sebelum peristiwa memalukan itu terjadi, ia selalu datang ditengahbriefing kami sambil membawa teh hangat dan kudapan lezat. Maka ketololan mana lagi yang dapat kami dustakan!.

Dalam Ketakutan logika sekarat. Anak saya 11 tahun ngakak terpingkal-pingkal menonton Pak Menkes Terawan menertawakan beberapa wartawan yang bermasker di kesempatanpress conference menyusul adanya WNI yang positif terkena virus Corona. Sementara si mentri dan jajarannya tampil santuy tanpa masker, sambil menjelaskan fungsi masker dan dalam kaitannya dengan penyebaran virus. "ini kalian sedang sakit, apa bagaimana, kok yo pakai masker?" Tanya Pak Menteri nyindir kelakuan 'lucu' beberapa awak media,  sambil menjelaskan agar untuk tidak terlampau paranoid mensikapi wabah Covid-19 ini.

Meski demikian, tetap kita saksikan  pemberitaan di televisi yang terus melaporkan perkembangan kasus ini, dengan penampilan reporter-reporternya yang 'bercadar' bak kontes aneka masker; mulai dari yang model umumnya kita kenal, sampai masker yang digunakan pekerja di tambang atau laboratorium nuklir dan kimia. Seolah ingin menyajikan kesan situasi yang 'kiamat' kepada pemirsanya.

Dalam ketakutan, integritas memudar, atau memang aslinya munafiq. Para pejabat teriak-teriak agar masyarakat jangan menimbun masker, sementara diam-diam ia suruh istri atau asistennya hunting masker. Seandainya ia membeli, terlalu lugu kelau saya pikir ia membeli sesuai kebutuhan.

Dalam ketakutan Para politisi berdaya rusak lebih dahsyat. Masyarakat yang sudah ketakutan, dibikin tambah gentar dan bingung. Ia sibuk mencari kambing hitam dari pada membangun suasana tenang kepada masyarakat. Sebagai misal, ia dapat ikut meluaskan informasi soal tingkat kematian karena virus Corona yang rata-rata secara umum adalah 3,4 persen. Sementara pasien sembuh ada di prosentasi lebih tinggi, yaitu sebesar 52,7 persen. 

Dalam ketakutan kamu dan kita tidak penting. Bahkan tidak ada. Akulah yang penting, akulah yang ada. Akulah segalanya. 

Seorang guru memberi penjelasan tentang penemuan-penemuan modern, "Apa diantara kamu ada yang bisa menyebutkan sesuatu yang penting yang belum ada lima pulu tahun lalu," tanyanya. Seorang anak pinter di deretan muka mengangkat tangannya bersemangat dan berkata. "Saya!"(Anthony de Mello SJ-Doa Sang Katak I). 

Buying rush Adalah ekspresi betapa hanya  saya yang harus selamat, aman dan terjamin dari keadaan yang memburuk. Sembako diborong orang kaya di minimarket kampung. Seorang Ibu mematung di didepan pintu minimarket itu, tak kebagian gula, padahal ia hanya perlu seperempat saja untuk kebutuhan memasaknya. 

Mbok Nani tukang jamu langganan tidak datang mengantar jamu ke langganan, pasalnya; kunyit, asam, tumulawak, jahe dan kencur habis 'digruduk' pembeli. "Yang tabah ya, Mba Nani".

Ketakutan tak Mempan dilawan
Melawan ketakutan berarti memberi izin baginya untuk semakin dominan menguasai mental kita. Nalarnya, semakin ngotot kita melawan musuh, semakin besar musuh membangun kekuatan untuk menghentikan kita. Lagi pula, bagaimana mungkin melawan sesuatu yang datang asalnya dari sesuatu itu sendiri. Yang mau melawan ketakutan adalah si ketakutan itu sendiri. 

Akui, hadapi ketakutan adalah yang paling mungkin bisa kita lakukan. Mengakui bahwa diri ini ketakutan adalah permulaan sikap yang penting. Dalam mengakui diri ini takut, keberadaan sensasi tersebut tidak disangkal, karena menyangkal adalah kata lain dari melawannya. Kita terima sensasi takut itu bekerja menguasai mental, untuk itu berarti kita siap berhadapan dengannya.

Berhadapan dengan ketakutan  adalah berhadapan dengan diri sendiri. Untuk itu berhadapan dan mendekatinya secara pasif, fatalis dapat mempercepat sensasi takut itu melemah dan lenyap begitu saja. Perasaan ketakutan dan bentuk-bentuk perasaan lain hanya akan hidup panjang menguasai batin justru kalau pikiran yang sedang mengalami kegelapan dan kebodohan dibiarkan menjadi sumber tindakan. Tindakan bodoh tentunya yang muncul.

Semantara, mengalihkan ketakutan adalah cara paling umum yang kita lakukan. Melalui manipulasi pikiran, sensasi takut dapat mereda meski temporal sifatnya, ketakutan akan muncul  bila ada momennya. Tetapi setidaknya dengan mengalihkan ketakutan,  'oksigen' baru dapat mengisi rongga pernafasan hidupnya, tinimbang sesak nafas dan mati kaku karena ketakutan yang menguasainya.

Salah satu pengalihan (kalau kita orang beragama) adalah doa. 

Berdoa mengalihkan perhatian dari perasaan diri yang adalah ketakutan kepada ia yang kita imani sebagai Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk ketakutan.

Suatu hari seorang sahabat datang dengan ketakutan setelah mendapati chat mesum dari gawai suaminya. Ia takut suaminya beralih cinta dan perhatiannya pada wanita simpanannya. Saya bersaran padanya, "Titipkan saja ketakutanmu pada Tuhanmu, cuma Ia yang mau dititipkan 'monster' itu". Seraya memberi sebuah doa yang saya sebut sebagai 'doa penitipan':

"Aku titipkan kepada Allah (Yang Mahatinggi, Mahaluhur, mahamulia, mahaagung) agamaku, diriku, keluargaku, kekayaanku, anak-anakku, dan seluruh saudaraku yang beriman, semua yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku, serta semua urusan yang menjadi tanggunganku. 

Aku titipkan kepadaMu ya Allah (Yang sangat ditakuti dan Bergetar segala sesuatu karena kebesanMu) agamaku, diriku, keluargaku, kekayaanku, anak-anakku, dan seluruh saudaraku yang beriman, semua yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku, serta yang semua urusan yang menjadi tanggunganku." (imam Ja'far shadiq as).

Sebulan beralalu, sahabat saya itu berkirim kabar, meski suaminya tak berubah kelakuannya, tapi ia tak lagi dikuasai ketakutannya. Tindakan-tindakan tolol yang sempat terpikir olehnya seperti : pergi ke dukun menyantet perempuan simpanan suaminya, atau melabrak keduanya, tak lagi menggodanya. Perhatiannya beralih dari hanya diri dengan ketakutannya, menjadi kepada Tuhan. Secara tidak langsung ia mulai membangun hubungan dengan wilayah yang spiritual dari dirinya

Mengalihkannya  telah memberi kesempatan bagi perasaan itu untuk diinterupsi oleh mentari, fajar yang terang dan untuk itu pandangan menjadi jelas serta menunjukan padanya bahwa di bawah tempat ia bergelantung bukanlah lautan ganas atau jurang yang curam dalam. Dan tak perlu menjadi tolol bergelantung sepanjang hidup dalam kesamaran dan ketakutan.

Solusi boleh jadi bukanlah selalu dalam arti ditemukannya suatu jalan keluar atas masalah atau persoalan yang dihadapi, tapi solusi boleh jadi adalah ketakutaan yang dihadapi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun