Kopi pahit masih lagi disruput. Hangat kuku dirasa bibir dan lidah, segar dan sedap rasanya. Sambil bersila di teras, lega dan getir masih beda tipis dirasa di dada.
Malamnya saya baru saja kambali setelah sejak 30 September 2018 bersama beberapa teman relawan berangkat ke Palu Sulawesi Tengah menyusul bencana gampa berkekuatan 7.7 magnitude, yang diiukuti tsunami dan likuifaksi pada 28 September 2018 pukul 18.02 WITA.
Saya katakan lega, karena saya bisa pulang kerumah, berkumpul kembali bersama keluarga. Getirnya, bencana alam tersebut sangat dahsyat jumlah korban jiwa dan dampak kerusakannya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 10 Oktober 2018, 13 hari setelah bencana itu terjadi, merilis melalui Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat---Bapak Sutopo Purwo Nugroho, 2.045 korban meninggal, sementara bangunan rusak untuk wilayah Petobo Palu saja terdapat 2.050 unit bangunan.
Pihak BPPT (Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi) menyetarakan kehebatan gempa ini dengan 200 kali bom Hiroshima Jepang di tahun 1945 dengan kekuatan 3 x10 6 ton TNT.
Segala kilasan ingatan dan bayang-bayang kepedihan warga Sigi Biromaru, Palu dan sekitarnya buyar dari pikiran setelah mata saya menangkap sosok berkaos abu-abu dari balik pepohonan besar di taman depan rumah. "Pak Sutopo," bisik saya. Saya sigap meletakan cangkir kopi dan berdiri mengenakan sendal saraya menyusul sosok yang begitu lambat jalannya.
"Pripun, Pak?" sapa saya.
"Nggieh, beginilah. Sekarang ini anda lihat kan, jalan saya makin miring, suakitnya walah," Sahut Pak Sutopo sambil mengusap-usap dada kirinya. Ngilu rasanya mendengar itu.
Obrolan pagi dengan tokoh yang dikenal sangat dekat dengan para jurnalis ini makin asyik, saya mengonfirmasi beberapa data temuan saya di lapangan pada beliau, dijawab dengan juga memperlihatkan data yang dimiliki melalui telepon selulernya.
"Saat ini BNPB yang diminta Presiden sebagai juru bicara yang menyampaikan dan menjelaskan kepada masyarakat soal apa yang terjadi dan perkembangan gempa Palu, setelah sebelumnya Pak Wir (Bapak Wiranto Menkopolhukam) juga ikut menjelaskan ke masyarakat. Tapi ya sekarang cukup satu sumber saja," lanjut Pak Sutopo.
"Saya sempat telpon Bapak saat saya dan para relawan menuju Tompe Bugis, maksud saya untuk melaporkan karena ada sekelompok relawan yang terjebak longsor di daerah Lindu, tapi koneksi jaringan sulit, cuma calling tidak ringing," lanjut saya.
"Iya, itu relawan dari mana toh? Kami evakuasi dengan heli akhirnya," sahut Pak Sutopo.
15 menit olah raga paginya Pak Sutopo terhambat obrolan kami. Berbincang dengannya akan terasa diwongke (dianggap) kalau dalam Bahasa Jawanya. Menyimak dengan serius lawan bicaranya, anggukan kepalanya, semua ekspresi sikap respeknya akan terasa sebagai sikap natural, tidak dibuat-buat.
Akhirnya obrolan kami berakhir setelah sebelumnya saya tawari beliau mampir dan menawarkannya kopi hangat.
"Saya lanjut yo, Mas," pamitnya sambil menepuk-nepuk pundak saya dan meninggalkan saya. Berjalan sangat lambat dengan badan yang sedikit miring ke kiri, saya biarkan mata saya mengamati geraknya dari belakang, sampai beliau berbelok ke blok kediamannya.
Selanjutnya, setelah pertemuan di pagi itu, saya tidak lagi pernah bertemu di lingkungan komplek rumah. Pernah satu hari saya mengunjunginya di rumah dengan membawakan buku untuknya, tapi hanya bertemu dengan Bu Sutopo. "Bapaknya belum pulang, Mas," jelasnya. Buku saya titipkan.
"Mas, maturshuwun bukunya, nanti saya sempatkan baca," pesan Whatsapp saya terima dari Pak Sutopo keesokan harinya. Itulah terakhir kali, bahkan untuk selamanya, komunikasi saya dengan tetangga yang murah senyum ini.
Pernah di suatu minggu pagi. "Wah telat kamu, barusan saja  si Bapak lewat," kata istri saya
"Pak Topo?" tanya saya memperjelas.
"Iya," pungkas istri. "Kalah start," canda saya. Sambil berharap kelak diminggu pagi lain kesempatan bisa berbincang lagi di depan taman.
Soal kalah start dengannya berkali-kali saya alami. Suatu malam, bahkan sudah pagi persisnya karena saat itu jam di pos satpam gerbang komplek menunjukan pukul 01.10 dini hari.
"Bareng sama Babe?" tanya Satpam penjaga gerbang penasaran.
"Ha? Sama siapa? Pak Sutopo?" tanya saya balik penasaran.
"Iya, baru aja masuk, paling baru belok bloknya tuh," Lanjut Pak Satpam.
"Ow," balas saya sambil melaju meninggalkan satpam.
Sementara pikiran tak habis berpikir dan takjub, bagaimana bisa beliau dengan keadaan yang demikian, bekerja sampai sepagi ini?
Pagi harinya. Pukul 06.00 saya sudah di atas sepeda motor, melaju pelan hingga gerbang pos satpam. Badan masih belum segar sepenuhnya karena tidur hanya 3 jam tadi malam.
"Jiaaaaa, kalah pagi sama si Babe," ledek satpam
"Hah? Pak Topo Udah ngacir lagi aja?"
"Pantas beliau jadi orang besar," bisik saya kagum tak henti-henti.
Dan sepantasnya bangsa ini pun kehilangan putra terbaiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H