Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Laki-laki yang Memancing Rembulan

15 Juli 2015   20:47 Diperbarui: 16 Februari 2017   13:45 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://superkunil.blogspot.com/

Sumber Ilustrasi

Namanya Mat. Dulu ia pemancing ulung. Semua sungai, danau, dan rawa pernah ia pancingi ikannya. Teluk, selat, dan lautan pun pernah jadi tempatnya memancing ikan. Ia pernah mencicipi semua jenis ikan: dari ikan paling kecil hingga paling besar, dan ikan paling ramah hingga ikan paling ganas. Ia tak pernah gagal memancing. Ia tahu tempat yang mana yang ada ikannya. Sekali ia melempar kail, pantang ikan tak terpancing. Orang-orang tahu bahwa Mat suka memancing, tapi mereka tidak peduli pada Mat. Mereka tidak pernah ingin memancing seperti Mat. Tapi, suatu saat Mat berhenti memancing. Konon, katanya, Kolam ikan di belakang rumahnya sudah penuh dengan ikan-ikan.

Anehnya, ketika Mat berhenti memancing, semua orang tiba-tiba saja senang memancing. Semua orang di sana pergi ke rawa, sungai, atau danau. Tempat-tempat itu penuh dengan orang yang memancing ikan. Semua orang bangga dengan kailnya. Bangga dengan ikan-ikan hasil tangkapannya.

Berbeda dengan orang-orang itu, setiap hari Mat tampak melepaskan kembali ikan-ikan yang dipiara di kolam rumah ke rawa-rawa atau sungai. Ia menyimpan kailnya dan tak berniat menggunakannya kembali. Pada Akhirnya, ikan di kolamnya pun habis dikembalikan ke rawa dan sungai. Mat tersenyum puas. Dan, orang-orang menganggapnya gila. Aneh. Semua ikan yang didapatkannya hanya dimakan sedikit sisanya dilepaskan kembali. Dan, orang-orang sangat senang menangkap ikan-ikan Mat yang dilepaskannya kembali itu.

Pada suatu saat, datang sebuah musim di mana ikan-ikan tiba-tiba seperti lenyap. Tak satu pun orang yang memancing mendapatkan ikan. Umpan-umpan yang bagus pun tak mampu menggoda ikan. Mata pancing tak pernah disentuh ikan, tak heran jika umpan-umpan yang dipasang pada mata pencing tetap utuh. Lalu, orang-oraang berpindah pada jala dan jaring. Tapi, tetap saja tak ada ikan yang terjaring. Entah apa sebab ikan-ikan di sana lenyap.

“Kemana ikan-ikan di sini?”

“Apakah ikan-ikan sudah habis di sini?”

Begitu kata-kata keresahan yang sering terdengar di sana sekarang. Sayangnya, orang-orang di sana tak ada yang mengerti kenapa ikan-ikan menghilang. Pernah suatu ketika, Ketua Kampung membeli bibit ikan dari tempat lain, lalu disebar di rawa yang menjadi tempat paling disukai orang di sana untuk memancing. Tapi, beberapa bulan kemudian, ketika mereka mencoba memancingi rawa itu, tak ada satu ekor ikan pun yang terpancing. Bahkan, ketika kemarau datang, mereka mengeringkan rawa tersebut, tapi tetap saja tak ditemukan satu ekor ikan pun.

Pada akhirnya, lama-kelamaan, orang-orang di sana tidak lagi memikirkan memancing, tidak lagi memikirkan ikan-ikan lagi. Anehnya, mereka tetap bisa hidup normal, masih tetap bisa makan, dengan sayur, sambal, dan daging ayam atau kambing sesekali.

Satu malam Mat keluar rumahnya. Ia membawa kail. Ia berjalan ke arah rawa tempat yang dulu orang sering memancing di sana.

“Mau ke mana, Mat?” tanya seorang tetangganya yang berpapasan dengannya.

“Mancing,” jawab Mat tenang. Ia terus berjalan ke arah rawa.

“Hah!? Mancing?! Maaaat, bukankah di rawa itu sudah tidak ada lagi ikannya?” teriak tetangganya. Kaget sekaligus merasa aneh dengan Mat. Mat telah jauh melangkah.

Mat diam saja. Ia terus berjalan. Di atas bulan sepotong mengiringi langkahnya.

Paginya, sebelum matahari terbit dengan sempurna, tetangga itu bertemu dengan Mat yang baru saja pulang mancing dari rawa.

“Mat, dapat ikannya?” tanya pada Mat.

“Ikan? Maaf, aku tidak memancing ikan,” jawab Mat, “ini aku dapat satu.”

“Kalau bukan memancing ikan, apa yang kamu dapatkan, Mat?”

“Rembulan. Semalam aku memancing rembulan.”

“Kamu gila, Mat!”

“Aku tidak gila. Aku benar-benar memancing rembulan. Di dalam bumbungku ini, ada satu rembulan.”

Akhirnya, Mat meninggalkan tetangganya. Ia pergi bergegas berjalan pulang ke rumahnya.

Ketika hampir setiap malam Mat keluar rumah, semua orang membicarakannya. Banyak yang menganggapnya gila. Bahkan, ada yang bermaksud mengusirnya. Mat tidak peduli pada orang-orang itu. Setiap pagi pulang memancing, Mat akan berkata pada orang-orang bahwa rembulan yang didapatnya lebih dari sepuluh sekarang. Bahkan, pernah satu malam, kata Mat, ia mendapat hampir seratus rembulan.

“Betul kamu memancing ikan, Mat?” Ketua kampung bertanya kepada Mat di depan rumah Mat sebelum Mat pergi memancing. Orang-orang berkumpul mengelilingi Mat. Dihitung-hitung ini hari ke seratus Mat keluar memancing rembulan.

“Iya,” jawab Mat. Ia berdiri di depan rumahnya. Mat memang hidup seorang diri.

“Kalau betul kamu memancing rembulan, anehnya rembulan di atas sana masih ada, Mat. Bukankah, katanya, kamu setiap malam dapat rembulan?”

“Aku tidak memancing rembulan yang di atas sana, tapi rembulan di dalam rawa,” kata Mat.

“Berarti, kamu hanya memancing bayangan rembulan saja, Mat.”

“Bukan, bukan bayangan rembulan, tapi memang rembulannya.”

“Kami tidak percaya, Mat!” teriak seseorang.

“Mana buktinya, Mat!?”

“Kalian ingin bukti?” tanya Mat. Ia menatap orang-orang yang mengelilinginya.

“Iyaaa!”

“Baik, lihatlah nanti!” kata Mat.

Orang-orang makin banyak. Rasanya, hampir semua penghuni kampung itu datang ke rumah Mat. Mata mereka memperhatikan Mat, mereka pun berbisik-bisik, rasanya mereka ingin benar meneriaki Mat gila.

Mat melangkahkan kakinya ke samping rumahnya. Di sana ada sebuah jendela yang konon di dalamnya ada sebuah kamar.

“Kalian perhatikan, aku akan membuka jendela itu. Jendela kamar tempat aku menyimpan rembulan-rembulan hasil aku memancing,” kata Mat. “Aku akan membuka jendela itu!”

Lalu, Mat membuka jendela itu diiringi berpuluh-puluh pasang mata yang mengamati. Mat membuka lebar-lebar jendela tanpa teralis itu. Sesaat kemudian, ia mundur ke belakang. Tak berapa lama, dari jendela itu, menyembul sebuah rembulan, lalu rembulan itu perlahan-lahan keluar rumah, dan melayang ke langit malam. Lantas, disusul satu rembulan lagi. Kemudian, satu lagi. Dan, satu lagi. Satu lagi. Begitulah seterusnya, rembulan-rembulan itu keluar lewat jendela kamar Mat. Hingga halaman rumah dan kampung itu kian terang-benderang. Langitnya pun terang benderang.

Semua terdiam, terpana, dan tak percaya.

“Bukan, bukan seribu rembulan….tapi, ini sejuta rembulan.” Decak ketua kampung. Hanya itu yang terdengar saat semua terlalu khusyuk menghitung rembulan yang kian banyak di langit sana.

-------------Tambun selatan, 27 Ramadan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun