Kematian menemuiku
ketika secangkir kopi pekat dan kental disajikan
saat itu musim kemarau panjang sedang menggila
hingga dinding gedung berkeringat deras
ia menepuk bahuku,
lalu duduk di sampingku,
"Apa kabar, Teman?" katanya.
aku meliriknya--sebentar saja dengan ujung mataku
tetap asyik mencoret-coret kertas
tanpa kata dan tanpa gambar: abstrak!
"Apa kabar, Teman?" sekali lagi tanyanya.
"Baik," jawabku.
"Kemarau masih panjang.
Masih berairkah sumurmu?"
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Tidak apa-apa, ku pikir engkau sudah bosan dengan lukisan abstrak itu."
"Maaf, ini bukan lukisan," kataku, "Tapi, sebuah puisi."
"Tanpa kata-kata?"
"Ah, engkau tidak akan mengerti, engkau bukan penyair."
lalu, aku robek-robek kertas itu
menjadi serpihan-serpihan angin, lalu aku taburkan
hingga beterbangan dihembus angin.
Kematian menemuiku
pada sebuah malam ketika rembulan muram
saat satu embun yang disayangi menetes jatuh ke bumi
dia tak bertanya apa-apa
langsung memegang tanganku, lalu mengajakku pergi
di satu tempat--entah di mana
ditunjukkannya padaku selembar kertas
yang dulu kurobek-robek itu
sekarang dibingkai bertuliskan sebuah puisi
"Maaf, ternyata engkau betul, ini sebuah puisi," katanya
Kematian meninggalkanku
sambil terus membaca puisiku
meskipun ia tak akan pernah mengerti.
---------------------------mampang prapatan, 8 maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H