Mohon tunggu...
Ahmad Fahrudin
Ahmad Fahrudin Mohon Tunggu... Dosen - Ingin selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya

Ilmu Tinemu Kanthi Laku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergisitas Mental

9 Maret 2017   14:47 Diperbarui: 10 Maret 2017   00:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="mental"][/caption]Nelson Mandela (1918-2013) merupakan tokoh milenium berjiwa sinergis. Barrack Obama menyebut Nelson Mandela sebagai lambang keadilan, kesetaraan, dan harga diri. Stephen Richard Covey, dalam The 3rd Alternative (2011), menjuluki Mandela ‘SEMIFINAL”. 

Gerakan Ahimasa Gandhi menginpirasi Mandela. Ia menabur benih sekaligus memekarkan tunas baru dalam memahami dunia. Dia menempatkan dirinya bukan sebagai korban keadaan, melainkan penciptaan masa depan. Bisa percaya diri sekaligus rendah hati pada waktu bersamaan.

Kita Mandela adalah tokoh kulit hitam pertama kali yang menjadi presiden. Pemimpin yang juga disebut sebagai ‘pemimpin perdamaian dunia’—ia mengajarkan kebaikan dengan cara memutus mata rantai kekerasan dan siklus balas dendam.

Mandela memberikan tauladan yang istimewa. Ibarat sebuah pohon yang bunganya jatuh, dia tidak meminta kembali untuk kembali pada pohonnya. Membiarkannya dengan sesuka hatinya akankah dia akan layu atau tetap dalam keadaan cantik. Dia tidak menuntut balas dendam, karena dendan bukan merupakan solusi yang arif dan bijak.

Bangsa kulit putih yang memenjarakan dan melakukan politik apartheid dibiarkan hidup dalam damai. Mandela tidak pernah melakukan perencanaan untuk membersihkan etnis terhadap kulit putih. Ia memaafkan bangsa yang pernah menista dan menjajah kaum kulit hitam. Mandela tahan uji. Tidak menularkan ketakutan, kecemasan, dan penderitaan terhadap orang lain.

Itulah salah satu contoh tokoh yang mempunyai mental sinergis dalam level yang sesungguhnya. Keadaan masa lalu bukan sebagai cambuk pendorong untuk melakukan pembalasan di masa mendatang. Saya yakin, selain Mandela masih banyak contoh yang bisa dijadikan sebaga teladan. Mungkin belum saatnya diketahui oleh masyarakat. Tapi pada waktunya hal itu akan terlihat.

Manusia bermental sinergis mendahulukan kita ketimbang aku. Ada seorang bapak buta yang berjalan dalam kegelapan. Tangan kanannya memegang tongkat, sementara tangan kiri menjinjing lampu. Pemandangan yang tak semestinya terlihat. Sehingga mengundang pertanyaan dari seseorang, “Mengapa Engkau berjalan membawa lampu?” Jawab orang tua, “Buat penerangan. “Merasa tidak puas orang itu bertanya lagi, “Bukankah Engkau tetap tidak bisa memandangi jalan meski menjinjing lampu penerang?”Sambil tersenyum orang buta merespons, “Meski saya tidak bisa melihat, orang lain bisa memandangi saya. Lampu saya membuat jalanan menjadi benderang. Pun menghindarkan pengguna jalan lain menabrak saya.”

Cerita di atas bukan sungguhan, akan tetapi mampu kita pakai sebagai pelajaran. Sebuah anekdot yang syarat dengan sebuah pembelajaran—bagaimana manusia memandang hidup. orang yang merasa heran mewakili manusia yang biasa melihat persoalan dengan “sudut pandang aku” atau “sudut pandang kamu”.orang buta tadi berparadigma sinergis. Cara berpikirmu dengan cara berpikirku menghasilkan cara berpikir kita.

Sedikit pikiran saya mengarah kepada masyarakat. Dalam masyarakat banyak masalah sepele dibesar-besarkan. Sehingga yang sejatinya mampu di dapatkan dengan solusi yang sederhana—malah buntutnya masalah tak mampu bertemu dengan solusi. Berkepanjangannlah masalah tersebut. Semakin lama semakin menggunung.

Mereka lebih banyak mempertahankan ego dan kepala kerasnya masing-masing (mntalitas defensif). Ini terjadinya karena rasa tidak aman dan ketidakjujuran terhadap diri sendiri. Mentalitas ini cenderung merendahkan mereka yang berbeda pendapat.

Pada puncak inilah seharusnya muncul rasa empati. Empti muncul saat menemukan dirinya dalam hati orang lain. Mengamati dengan mata, merasakan emosinya, dan berbagi kepedihan. Kapasitas empati ini sesuatu yang alami dan memberi dampak besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun