Ketika pemerintahan Orde baru pertama kali menggalakkan program pemberantasan buta huruf, saya adalah salah seorang di antara sekian banyak anak Indonesia yang berkesempatan untuk ikut mencicipii program tersebut.
Saat itu kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih rendah, saya yang seharusnya sudah masuk sekolah dasar.
Bahkan seharusnya hampir tamat jika di tilik dari segi usia, ternyata belum juga mengenyam pendidikan formal. Tidak bisa baca dan tulis aksara Indonesia.
Seingat saya, pelaksaanaa program pemberantasan buta huruf ketika itu di laksanakan fleksibel, artinya, anak anak seusia saya yang juga punya kegiatan bekerja membantu orangtua, diharuskan mengikuti pembelajaran pada pagi hari.Â
Masuk sekitar jam 7.30 WIB dan selesai sekitar pukul 11.30 WIB. Sementra para orang dewasa, orang tua, atau mereka yang telah memiliki pekerjaan tetap bisa mengikuti kelas pembelajaran pada sore dan malam hari.
Semua peralatan belajar seperti buku, pensil, penghapus, pemggari, di sediakan gratis oleh pemerintah. Ruang belajarnya berupa bangunan balai desa yang di sulap menjadi beberapa ruangan dengan sekat sekat sederhana.
Santai dan tanpa aturan ketat begitu suasana belajarnya. bahkan untuk kelas orangtua atau orang dewasa, kelas bisa penuh gelak tawa selama proses belajar. Ini mungkin salah satu strategi dari pengajar agar masyarakat tidak takut dan tidak bosan mengikuti proses belajar.
Sedangkan para pengajarnya sendiri diambil dari beberapa orang desa yang di anggap punya kemampuan baca dan tulis. Jadi antara pengajar dan peserta program biasanya sudah saling mengenal.
Seingat saya ketika itu, pelajaran yang di berikan adalah pengenalan huruf, merangkai huruf menjadi kata atau kalimat sederhana, kemudian ada juga pelajaran berhitung dari penjumlahan, perkalian, dan pengurangan.
Tentu karena ini bukan sekolah formal, pengajarnyapun bukan guru terlatih yang biasa mengajar, bahkan metode belajarnya yang santai tanpa harus menerapkan peraturan kaku, ada rasa senang ketika itu selama mengikuti pembelajaran.
Kurang lebih setahun saya mengikuti program pemberantasa buta aksara, dan ketika di akhir tahun pelajaran, ada ujian atau tes untuk mengukur kemampuan peserta program selama mengikuti proses pembelajaran. Dan ini adalah saat yang paling mendebarkan.
Pda hati yang telah di tentukan, datanglah serombongan tim penilai.
Saya tidak tahu persis dari mana mereka, entah dari kecamatan, kabupaten, atau propinsi. Tapi menilik pakaian dan cara mereka berbicara, sepertinya mereka orang terpelajar.Â
Tes atau ujian akhir tahun di lakukan dengan memanggil satu persatu peserta program untuk diuji kemampuanya membaca. Hanya itu seingat saya.
Maka di saksikan oleh orang sekampung, setiap peserta harus tahan mental dan tahan grogi menghadapi ujian. Tak jarang muncul gelak tawa ketika kami para peserta yang sedang ujian melakukan kesalahan membaca atau menjawab pertanyaan sederhana dari para penguji.
Bagi yang di nyatakan lulus atau berhasil mengikuti program pemberantasan buta huruf ini, sepertinya tidak ada diberi sertifikat atau semacam tanda bahwa mereka pernah mengikuti program ini.Â
Saya berhasil lulus, dan oleh petugas penguji di beri selembar surat pengantar agar bisa masuk kesekolah formal. Dan hasilnya?
Hari ini saya bisa menulis di Kompasiana, bisa membaca dunia, bisa ikut menulis sastra terutama puisi.Â
Berkat pernah mengikuti program pemberantasan buta huruf di masa lalu, saya memiliki kesempatan untuk belajar berbagai macam ilmu pengetahuan, pernah menjadi pengajar di beberapa tempat.
Semangat untuk terus menggali potensi diri akan kemajuan zaman ternyata tumbuh subur menyemangati diri.
Saya tidak pernah malu pernah menjadi peserta sebuah program pemberantasan buta huruf di masa lalu, bahkan saya sangat bersyukur diberi kesempatan membuka cakrawala diri dengan belajar huruf dan cara membaca di program tersebut.
Besar harapan saya agar program yang baik ini terus berlanjut. Tantangan dan hambatan tentu berbeda dengan keadaan zaman saya kecil dulu.
Namun manfaat dan pentingnya program pemberantasan buta huruf ini tetap diperlukan bagi generasi sekarang, utamanya bagi mereka yang kebetulan kurang beruntung dalam mengakses pendidikan.
Anak jalanan, kaum pinggiran, penduduk pedalaman yang masih terisolir dan jauh dari pusat pendidikan formal, orang miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan keluarganya, mereka adalah manusia Indonesia yang berhak menikmati pendidikan dan kemajuan zaman.
Dan program pemberantasan buta huruf adalah asalah satu pintu untuk merubah penghidupan, dari kebodohan menjadi terpelajar dan memiliki kompetensi menatap masadepan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H