Manusia memang makhluk sosial, dengan artian, dalam setiap geliat kehidupan pasti dan harus membutuhkan orang lain sebagai penopang dan penyeimbang.
Karena sifatnya yang selalu harus berinteraksi dengan keadaan sekitar, kehadiran tetangga adalah masalah klasik dalam setiap cerita tentang perjalanan hidup seorang manusia. Jatuh, bangun, bahagia, sedih, seringkali orang lain yang bisa jadi adalah tetangga ada peranya di sana.
Kebetulan selama berumah tangga, saya adalah tipe keluarga perantau, satu-dua tahun di satu tempat, pindah lagi ketempat lain. Capek memang, tapi begitulah keadaan, tergantung dari penugasan mencari nafkah.
Karena sering berpindah tempat itulah, maka kami sekeluarga sudah pernah memiliki ribuan orang sebagai tetangga. Ada yang sesama muslim, nasrani, hindu, budha, bahkan yang masih atheis. itu dari segi agama dan kepercayaan. Ada yang Jawa, Batak, Papua, Melayu, china, Bengghali, Banjar, Aceh, dan mungkin banyak lagi asal dan suku yang pernah menjadi tetangga kami.
Dan cerita tentang tetangga ini ternyata bisa di bagi kedalam tiga babak, sesuai waktu, keadaan, dan suasana kebatinan kami bertetangga.
1. Tetanggaku, Dahulu.
Dahulu, bahkan dulu sekali, bertetangga itu seperti tiada sekat dan pembatas. Rumah kami kebanyakan tidak berpagar, halaman luas bisa untuk bermain dan berkegiatan siapa saja. Dalam berinteraksi rasanya dulu antar tetangga itu tidak pernah mempersoalkan asal usul dan agama atau kepercayaan. Tetangga ya tetangga, dan itu berarti adalah saudara
karena di landasi rasa persaudaraan sebagai sesama ummat manusia, antara tetangga dulu itu sudah seperti saudara sendiri. Kami yang muslim dan bersuku Jawa bisa hidup berdampingan dengan tetangga non muslim dan dari suku apa saja, tanpa ada gap atau jarak. Saling tolong, saling bantu, saling menghormati agama dan adat istiadat masing-masing.
Toleransi antar tetangga sangat di junjung tinggi, masalah sekecil apapun biasanya di selesaikan dengan rasa kekeluargaan. Guyup, rukun, penuh kebersamaan.
Dan satu hal yang membuat bertetangga di zaman dulu iu terasa nikmat dan sulit terlupakan, kami dengan para tetangga punya kebiasaan unik. Kalau satu keluarga punya lauk atau makanan enak, semua tetangga di bagi. Kalau makan tidak ada sayur di rumah, kami bisa sambil berteriak menanyakan apa tetangga punya sayur atau makanan, dan ajaibnya selalu di beri. bergantian, hari ini minta, mungkin besok gantian memberi. Saling memberi dan menerima tanpa menharap pamrih.