Aku berteduh
Hujan deras menggiringku ke sebuah pondok bambu, gelap tanpa penerangan, karena aliran listrik seketika padam ketika guntur menggelegar. "Ah, biasa." gumamku.
Jauh di pedalaman, sebelah tenggara kota Tarakan.
Bersama curah hujan yang menemani, lebih dari dua jam aku memanipulasi diri, menyaksikan gubuk reot meratapi sunyi. Seperti maestro yang mampu membaca kegaiban pribumi, atau seorang petualang sejati yang tengah tersesat di dimensi hayali.
Ku kira hujan akan segera reda, tapi ternyata nyanyian katak sawah lebih memukau dari doa. Pintaku ternyata penuh ragu dan kepentingan biasa, sehingga pemangku alam dengan segera menambah debit air tercurah ketanah, biarkan aku kedinginan dan meringkuk di permainkan ratusan nyamuk menghunus pedang.
"Hujan sialan!" tapi kata kata itu segera ku tarik ulang. Â Aku takut pesan ibu akan menjadi kenyataan, menolak rahmat adalah kejahatan. Dan kemarahan alam bisa datang dari hal yang tak pernah terbilang. Karma hanya sejengkal dari ucapan.
Ku rapikan jaket hitam bergambar macan kumbang, semoga nyaliku adalah macan, dan kemampuanku membujuk hujan adalah jempolan.
Dua jam dalam hujan adalah cermin menata jiwa, atau malah penjara terindah bagi seorang lelaki yang tak tau lagi hendak kemana mengadukan pembalakan liar dan kerusakan hutan.
Air hujan mengalir deras, melewati bukit tanpa pertahanan. Menngerus segala yang tampak, mengangkut habis gelondongan kayu sisa pembalakan hutan.
"Banjir, banjir" teriak alam mengingatkan
Gubuk reot terdiam
Ratusan jiwa lari berpencar
Aku?
Aku ternyata seorang aktivis yang gagal menembus birokrasi sulit dan panjang, menyodorkan proposal penyelamatan lingkungan, berusaha menjadi jembatan antara masyarakat adat dan kekuatan modal. Dan kini terjebak di hutan, hujan, gelap, banjir, longsor dan lolong minta tolong manusia menghadapi kemarahan alam.
Air banjir bercampur lumpur dan delondongan kayu mengepung tubuhku
Menenggelamkan dadaku, hingga akhirnya mengubur seluruh badan dan harapan
"Maafkan aku, alamku"
"Maafkan aku, masyarakat pedalaman"
"Maafkan aku, bukit indah yang hari ini di penuhi kemarahan"
Hanya sebatas ini kemampuanku menyuarakan pelestarian alam
#####
Baganbatu, oktober 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI