Dahulu ia adalah tuan tanah, memiliki jutaan hektar hutan-rimba tempat singgasana, bermiliar jenis buah, seratus jutaan macam kayu dengan aneka guna.
Melompat dengan riang dari dahan kecabang, bergelantungan dengan ceria karena sumber pangan hanya sejangkauan tangan. Sungguh surga dunia yang di idamkan, pemberian Tuhan tanda kasih sayang kepada semua makhluk yang ada di alam.
Tapi kini, ketika manusia melaju bak mesin penghancur segala dimensi, merambah hutan demi tuntutan hidup akan kemajuan gengsi, menebang pohon untuk sekedar mengisi pundi-pundi.
Hutan di jarah atas nama kemanusiaan
Hutan di bakar dengan dalih demi pembangunan
Babat habis tanpa ada yang tertinggal
Hanya bangunan beton sebagai tanda keangkuhan
Ia kini mengemis di tanah sendiri, ia kini menjadi gelandangan di tanah subur yang di sediakan Tuhan
Kelaparan, kedinginan, kebingungan untuk sekedar merebahkan tubuh melabuhkan lelah perasaan
Tuan tanah yang kini menjadi jelatah, penguasa rimba yang kini harus menyusuri panas aspal sekedar mendapat belas kasihan dari manusia
Jika tidak di penangkaran, paling mulia harus hidup di taman suaka margasatwa
Bila nasib sedang sial, jadi santapan empuk pemburu kejam manusia bersenapan
Menangispun ia di anggap gurauan
Merontapun ia hanya jadi tontonan manusia yang kegirangan
Jika di dunia ada komisi hak asasi binatang, pasti ia akan mengadukan kekejaman ini agar tak terulang
Sungguh malang nasib penguasa hutan yang kini menjadi pengemis di lahan yang telah beralih fungsi
#####
Baganbatu,9 agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H