Pagiku terasa lebih dingin, denting sendok beradu bibir cangkir, segulung uap panas mengapung bagai mimpi. Aroma teh melati, gula putih dalam takaran pasti, menambah nostalgia ini lebih menyentak hati.
Tangan terampil berhati sejati, senyum dikulum menghias hidung mancung. Tak ada riasan benci, tak ada polesan berat hati. Yang tersaji adalah bukti kasih, teh melati dan kesetiaan tak terganti.
Tapi kini, cangkir kosong tergeletak bengong. Sendok dan gula teronggok di sudut meja, teh melati menangis sedih sambil menghiba. "ke mana wajah ayu yang dulu memanjakanku, mengapa ia pergi ketika pagi pasti hendak datang lagi".
Aku? Tak mampu kutuliskan dalam puisi ini. Kehilangan kekasih adalah pedih yang paling perih.
*****
Baganbatu, juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H