Entahlah. Entah sudah berapa lama kaki membatu di luar sana. Tanah tempat berpijak bagai adonan bara.Â
Burung, dan bunga kamboja berbisik dengan nada curiga. Tak lagi mengenaliku sebagai tuan dari tanah subur beraroma syurga, atau mereka curiga dengan jenggot panjang dan celana cingkrang yang ku kenakan.
Ku lihat sepintas di hiasan gerbang penyambutan, orang-orang berperangai asing sibuk mondar-mandir. Kulit agak gelap kecoklatan, hidung agak pesek dengan perawakan biasa. Berbicara dengan bahasa ibu, tapi sulit kufahami maknanya.
Bau tubuh itu, sama seperti diriku. Aroma tanah bercampur lumpur menguar saling menyapa, otot menonjol menandakan aku dan mereka sama-sama pencari nafkah. Rakyat biasa, manusia biasa.
Tapi suasana kota ini bukan tanah kelahiranku yang lama. Mereka tak lagi menjemur senyum di beranda rumah, tak ada lagi tawaran canda-ceria melalui tegur sapa. Mata mereka merah, hampa dari kebeningan bersaudara, berbicara hanya bila dahan pohon menimpah atap rumah.
Benarkah ini kota kelahiranku. Baru kemarin aku pergi tidur menunggu matahari baru, terbangun di tanah luas penuh coretan. RASIS, SARA, INTOLERAN. Bahasa baru yang tak pernah diajarkan ibu.
Aku asing di tanah air yang melahirkanku.
*****
Baganbatu, desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H