Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kisah Sebatang Pohon

3 Maret 2020   20:51 Diperbarui: 3 Maret 2020   20:53 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisahku. sejak aku kecambah hingga batang dan akarku menghujam dunia, dahan dan ranting melindungi bumi dari angin, daunku hijau dan menguning menantang sang penguasa siang. 

Aku tanpa pamrih, aku tak butuh puja dan puji. Pagi atau petang terlupakan, hujan dan panas tetap diam. Bergoyang mengikuti irama alam, bermandi embun tatkala fajar dan siang melakukan pertemuan. Itu ritual dari semenjak nenek moyang

Engkau mencintaiku? Aku sebenarnya ragu dengan pengakuanmu. Matamu memandangku dengan nilai rupiah, tanganmu mengelus kulitku seakan berkata, "tunggu saatmu. kan ku rubah bentukmu hingga bisa masuk ke rekeningku." Aku takut. tapi apa dayaku menghalangi tipu dayamu, menghambat laju gergaji mesinmu yang terus menderu, memotong dan mencincang tubuh saudaraku

Maaf untuk cintamu. Di corong media engkau berteriak mencintai semesta. di balik tirai engkau biarkan diriku hancur mengalirkan dolar. Apa salahku? seumur hidupku aku tidak mengganggu hidupmu, menyediakan udara bersih agar sehat paru-paru mu, itupun tak pernah ku beritakan di media sosial. Engkau yang berteriak-teriak peduli lingkungan, mengudarakan slogan " cintailah alam", tapi diam-diam memancungku dengan segala kebijakan yang menyesatkan

Aku punya hak mengadu kepada tuhan, tunggu pertemuan kita di hari penghakiman. Jangan katakan cinta bila itu hanya sekedar menutupi kerakusan. aku tidak berakal, tapi hidupku menyediakan yang terbaik bagi semua orang. Walaupun aku hanya kulit dan kayu, tapi rasa-rasanya aku lebih mengerti cinta dari dirimu. Maaf bila engkau tersentuh rasa, tapi itu menandakan engkau masih pantas di sebut manusia

Bagan batu, di bawah naungan pohon jambu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun