Ini kisahku. sejak aku kecambah hingga batang dan akarku menghujam dunia, dahan dan ranting melindungi bumi dari angin, daunku hijau dan menguning menantang sang penguasa siang.Â
Aku tanpa pamrih, aku tak butuh puja dan puji. Pagi atau petang terlupakan, hujan dan panas tetap diam. Bergoyang mengikuti irama alam, bermandi embun tatkala fajar dan siang melakukan pertemuan. Itu ritual dari semenjak nenek moyang
Engkau mencintaiku? Aku sebenarnya ragu dengan pengakuanmu. Matamu memandangku dengan nilai rupiah, tanganmu mengelus kulitku seakan berkata, "tunggu saatmu. kan ku rubah bentukmu hingga bisa masuk ke rekeningku." Aku takut. tapi apa dayaku menghalangi tipu dayamu, menghambat laju gergaji mesinmu yang terus menderu, memotong dan mencincang tubuh saudaraku
Maaf untuk cintamu. Di corong media engkau berteriak mencintai semesta. di balik tirai engkau biarkan diriku hancur mengalirkan dolar. Apa salahku? seumur hidupku aku tidak mengganggu hidupmu, menyediakan udara bersih agar sehat paru-paru mu, itupun tak pernah ku beritakan di media sosial. Engkau yang berteriak-teriak peduli lingkungan, mengudarakan slogan " cintailah alam", tapi diam-diam memancungku dengan segala kebijakan yang menyesatkan
Aku punya hak mengadu kepada tuhan, tunggu pertemuan kita di hari penghakiman. Jangan katakan cinta bila itu hanya sekedar menutupi kerakusan. aku tidak berakal, tapi hidupku menyediakan yang terbaik bagi semua orang. Walaupun aku hanya kulit dan kayu, tapi rasa-rasanya aku lebih mengerti cinta dari dirimu. Maaf bila engkau tersentuh rasa, tapi itu menandakan engkau masih pantas di sebut manusia
Bagan batu, di bawah naungan pohon jambu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H