Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Munir Mengurai Sebuah Takdir

20 Februari 2020   07:51 Diperbarui: 20 Februari 2020   07:55 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Munir. sumber : kompas.com/Iwan Setyawan

"Siapa anda? Bertanya kepadaku seolah-olah paling kenal dan paling paham tentang siapa Munir." Kini gantian aku yang mencecar orang misterius itu dengan berondongan pertanyaan. Ini kesempatanku membalikan keadaan, menjadikan dia sebagai bulan-bulanan pertanyaan.

"Munir tidak pernah takut kepada siapapun. Itulah Munir. Hanya kepada tuhan ia menggantungkan  takdir."

Dengan nada tenang dan suara yang berwibawa, orang misterius yang kini ada di hadapanku menjawab seluruh rasa ingin tahuku. Bukan tentang sosoknya yang misterius, bukan tentang hadir dan perginya yang seringkali penuh misteri. Tapi tentang Munir.

"Engkau mengetahui Munir dari catatan sejarah, sedang sejarah tergantung kepada siapa yang berkuasa dan mempunyai dana. Catatan sejarah bisa di rubah sesuai keinginan kekuasaan."

Masih dengn nada yang sama, tanpa di minta tanpa perlu tanya.

"Anda menuduh penguasa dan media merekayasa sejarah tentang Munir? Anda terlalu gegabah. Ini zaman keterbukaan, di mana kami para generasinya memiliki keberanian mengkoreksi keadaan."

Aku benar-benar tidak rela bila di katakan sejarah telah di rubah sedemikian rupa sesuai pesanan kepentingan kekuasaan.

"Itulah yang membedakan Munir dengan keberanian generasi sekarang. Di saat orang muda sepertimu masih memikirkan tentang hari esok dan tempat tujuan, Munir telah mendobrak kebobrokan dengan tekat dan semangat yang tidak pernah padam."

Aku termenung mendengar kata-kata barusan dari orang misterius tersebut. Seperti ada tombak tajam menembus ulu hati, merobek sanubari sebagai orang yang sering kali mengaku pemberani, peduli nasip negeri, pendekar keadilan. Tiba-tiba aku malu kepada diri sendiri, keberanianku seringkali berjarak sejengkal dengan nilai nominal.

Ingatanku tiba-tiba melayang kepada teman-temanku sesama aktivis kampus di zaman lampau. Satu persatu kami meleburkan diri dalam kekuasaan, keberanian yang dulu sering aku dan teman-teman pertontonkan kini hanya tinggal slogan. Kata-kata usang tentang keadilan, HAM, yang sebatas narasi-narasi basi tidak bertuan.

"Siapa sebenarnya anda? Mengapa anda begitu paham sosok munir, seakan-akan anda adalah pengawal pribadinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun