Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

17 Agustus Pawai dan Karnaval, Setelah Itu Apa?

19 Agustus 2019   10:05 Diperbarui: 19 Agustus 2019   10:24 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka kendraan hias peserta karnaval.sumber : dok pribadi

Usai karnaval,merah-putih sendirian. Sumber : dok pribadi
Usai karnaval,merah-putih sendirian. Sumber : dok pribadi
Saya bukan orang anti karnaval atau pawai dan sejenisnya.sayapun bisa melihat semangat peserta karnaval dan antusias masyarakat yang bersungguh-sungguh ingin mensukseskan acara.

Tetapi seharusnya ada tindak lanjut dari sekedar karnaval dan aneka perlombaan, mengapa kita tidak beramai-ramai mengunjungi para pejuang kemerdekaan di sekitar kita, para pejuang dan pahlawan yang kini pasti sudah berusia sepuh.

Mengapa tidak kita tunjukan rasa penghargaan kita dengan mulai memperhatikan bagaiman kehidupan mereka sekarang. karena yang namanya pahlawan kemerdekaan itu bukan hanya yang sudah di beri tanda pahlawan oleh pemerintah semata, ada banyak orang-orang tua di sekitar kita yang dulunya juga ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah.

Mengapa pula tidak kita penuhi langit-langit nusantara dengan lantunan doa? Di masjid, gereja, vihara, kelenteng, dan tempat ibadah lainya. Tentu ini lebih bermakna daripada sekedar arak-arakan.

Belum lagi usaha kita untuk kembali menumbuhkan rasa satu nusa, satu bahasa, dan satu tumpah darah yang di tahun-tahun belakangan ini sering di koyak-koyak oleh aneka kepentingan tertentu.

Pada akhirnya, karnaval dan segala kemeriahan menyambut hari kemerdekaan adalah hal yang wajar tapi mesti di barengi dengan usaha untuk menumbuhkan semangat dan tekat sebagai satu kesatuan dalam bingkai NKRI.

Merdeka!

Ku tulis kata-kata ini dengan pena yang tintanya menyayat hati, terasa perih ketika nusantara di hempas perpecahan yang tak henti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun