Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Megawati dan Prabowo Mesra, Akankah Poros TK Tercipta?

9 Agustus 2019   12:07 Diperbarui: 9 Agustus 2019   12:23 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana hangat pertemuan Megawati dan Prabowo. Sumber : Antara foto/ Puspa Perwitasari

Politik itu memang cair. Bisa berubah bentuk sesuai suasana dan kondisi yang terjadi.

Bagi anda yang selama ini menjadi pendukung sebuah partai politik dan menjadi pendukung seorang tokoh politik karena garis ideologi dan kesamaan cara pandang dalam menentukan arah masa depan bangsa, siap-siaplah untuk menelan pil kecewa yang pahitnya menghujam menusuk jiwa. 

Anda-anda yang selama gelaran pilpres terbiasa memandang kubu seberang sebagai kubu lawan, yang menurut tokoh-tokoh politik dalam setiap kesempatan adalah pendusta, penghianat negara,pencipta kesengsaraan bagi rakyat, penyebab rusaknya tatanan demokrasi, dan masih banyak lagi ujaran-ujaran dari para tokoh politik yang dilontarkan ketika kampanye berlangsung. Bersiap-siaplah terkejut dan lagi-lagi menelan pil pahit untuk kesekian kali.

Pasca pilpres, dan sudah jelas kubu Jokowi-kiai Ma'ruf Amin sebagai pemenang. Ternyata kekuatan-kekuatan politik yang dulu begitu gegap-gempita saling serang dengan narasi-narasi yang kadang-kadang di luar kepantasan sebuah proses di alam demokrasi, kini saling berangkulan membagi-bagi kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat dan negara.

Sebenarnya, masalahnya sangat sederhana. Kita masyarakat awam terlalu memandang pertarungan politik itu sebagai pertarungan antara kebaikan dan keburukan, antara yang benar-benar cinta kepada rakyat dan negara melawan kekuatan politik yang hanya menjadikan politik sebagai alat mengejar kekuasaan semata.

Tapi bagi para politikus, semua itu dianggap sebagai "kompetisi"belaka. Pilpres dan pileg hanya ajang untuk menarik simpati dan menggunakanya untuk meningkatkan nilai tawar bagi tarik-ulur pembagian kekuasaan. Maka tidak heran bila hari ini ada kekuatan politik yang selama ini mencitrakan diri sebagai pengkritik, tidak sejalan, memiliki visi dan misi berbeda, tiba-tiba berangkulan tangan bersatu. lagi-lagi dengan mengatasnamakan sama-sama mementingkan kepentingan rakyat.

Mengaku tidak sepaham tapi kini memberi pujian, mengaku tidak bisa sejalan tapi kini mesra berangkulan. Sejatinya, itulah wajah asli politik kita. semua bisa berubah seiring kesamaan kepentingan untuk kuasa. Ideologi hanya pemanis kata-kata, rakyat dan kepentinganya bisa diolah menjadi sesuatu yang buram dan tidak nyata.

Mega dan Prabowo mesra, poros TK tercipta?

Pertemuan Mega-Prabowo pasca pilpres. Sumber : dok PDI-P
Pertemuan Mega-Prabowo pasca pilpres. Sumber : dok PDI-P

Hangatnya pertemuan Megawati dan Prabowo di jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta pusat. Menggemparkan jagat politik tanah air. Pro dan kontra seketika terjadi di semua kalangan. Yang pro memandang pertemuan itu sebagai tanda-tanda bahwa perseteruan yang terjadi akibat proses pilpres sudah hilang dan cair.

Tapi bagi yang kontra, mereka juga punya argumen tersendiri untuk memaknai pertemuan itu dari kacamata pemahamanya.sebenarnya ini hal yang wajar di alam demokrasi moderen. Pro dan kontra adalah hal yang biasa.

Dan ketika Prabowo menyanggupi akan datang ke acara kongres  PDI-P ke lima di Bali, pro dan kontra kembali terjadi. Dan ketika Prabowo benar-benar hadir di acara tersebut, spekulasi tentang poros TK mencuat di langit politik nasional. Semua kekuatan politik di tanah air menunggu-nunggu dengan harap-harap cemas. Setidaknya sebagai antisipasi menentukan langkah politik ke depannya.

Akankah Mega dan Prabowo akan membentuk poros Teuku Umar-Kertanegara? Akankah peta politik berubah seiring makin mesrahnya dua kekuatan politik utama negeri ini? Biarlah itu menjadi urusan para elit politik yang hidup matinya memang tergantung dari seberapa besar kue kekuasaan yang bisa digenggamnya.

Bagi kita masyarakat awam, marilah mengkaji ulang rasa benci, permusuhan, perbedaan, yang sempat tercipta dari kuatnya dukungan kita kepada para tokoh panutan politik, yang mungkin di saat ini tokoh tersebut sedang sibuk mengkalkulasi bagian kekuasaan yang bisa ia pegang.

Sudah waktunya kita berpikir cerdas kedepan.permusuhan dan kebencian karena berbeda pilihan politik dan berbeda tokoh panutan adalah hal yang sia-sia.politik hanya seni mempermainkan kesempatan,politik tidak punya teman sejati.yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Salam Indonesia damai

sumber :kompas.com/Merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun