Mohon tunggu...
Rachmat Sonjaya
Rachmat Sonjaya Mohon Tunggu... -

Penulis yang PNS, PNS yang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Delapan Kebersamaan

3 April 2014   18:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andai tak salah ingat, Itu adalah suatu pagi bertanggal 2 di bulan April tahun 2006, tepat 16 hari setelah tanggal 17 di bulan sebelumnya. Jika saya lahir pada tahun 1981,berapakah umur saya saat itu? Jawabannya akan kamu ketahui jika saat ini juga segera beranjak untuk mengambil kalkulator, kecuali kalau kamu seorang jagoan mental aritmetika. Tadinya sih mau dikasih tahu, tapi sayanya lagi males ah. Lagian itu tidak baik untuk kesehatan mentalmu jika saya beritahu, sebab nantinya kamu hanya bisa jadi pribadi yang suka diberitahu daripada mencari tahu.

Tahukah kamu, betapa saat itu tak ada seorangpun yang mampu melukiskan perasaan yang saya rasakan, karena gak kelihatan. Yang jelas itu adalah blasteran antara senang, sedih, grogi, malu dan sedikit takut. Menghasilkan sebuah peranakan jenis baru bernama mules.

Bagaimana tidak? Itu adalah saat dimana saya akan meletakkan tanggung jawab yang teramat berat di pundak saya yang ringkih. Meski demikian, itu harus. Demi menjalankan setengah agama dan menapaktilasi jejak sang Nabi.

Lihatlah, itu adalah saya yang berpeci hitam bersalur merah, berbalut jas abu-abu yang nampak kebesaran. Seikat bunga melati yang harum nan mewangi melilit di sekeliling leher saya, membuat saya seperti atlet bulutangkis yang baru saja memenangkan pertandingan. Bedanya, yang saya menangkan adalah hati milik seorang wanita yang bisa kamu lihat bersanding mesra di samping saya, sedangkan pialanya adalah diri wanita itu seutuhnya, dengan bonus segala kelebihan dan kekurangannya.

Saat janji suci itu diucapkan, tak dinyana saya harus remedial, karena para wali dan saksi tidak segera mengucapkan kata ajaib itu. Sah, mereka seharusnya serta merta bilang begitu saat saya mengucap kata terakhir dari serangkaian kalimat yang sudah berusaha keras saya hafalkan sejak beberapa hari sebelum hari itu tiba. Tapi nyatanya tidak. Perasaan, saya sudah mengucapkannya dengan benar dan lantang. Lalu salahnya di mana? Jawaban yang paling masuk akal adalah, mereka mungkin sedang mengalami gangguan pendengaran.

Dan ketika akhirnya buku berwarna hijau dan coklat bergambar Garuda di sampulnya ditandatangani, maka secara de jure kami telah menjadi sepasang suami istri. Implikasinya adalah, status saya dan istri di KTP pasti akan berubah menjadi kawin. Sebenarnya saya kurang suka dengan diksi kawin, karena itu berarti mensinonimkan kita, umat manusia yang mulia, dengan mahluk ciptaan tuhan bernama hewan. Penggunaan kata yang kurang tepat inilah yang menyebabkan banyak manusia yang berperilaku bak hewan, dan sebaliknya ada hewan yang lebih berperikemanusiaan dari manusia. Mungkin esensinya sama, tapi kata menikah terasa lebih memenuhi standar etika dan estetika.

Setelah acara sungkeman yang diwarnai dengan air mata yang berderai-derai, seisi rumah berubah riuh rendah dengan canda tawa. Semua larut dalam keceriaan dan kebahagiaan tanpa kecuali. Ada sih yang masih nangis, kenceng lagi. Tapi itu adalah tangis milik seorang bayi lucu yang sedari tadi terus merengek karena lapar, namun keinginannya tak segera dipenuhi sama ibu nya yang sedang sibuk bantu-bantu mempersiapkan hidangan sederhana untuk para tamu.

Saya dan dia yang kini saya sebut istri karena boleh, lalu duduk di sebuah kursi pelaminan berukir yang terbuat dari kayu jati kuat yang seolah melambangkan kuatnya tekad kami untuk hidup bersama. Sejenak, saya tatap lekat wajahnya yang nampak bercahaya karena diterpa lampu neon, begitu menawan dan membuat heran. Sejurus kemudian sejumput rasa tak percaya menyelinap di relung kalbu, lalu menjalar ke segenap penjuru benak. Mungkinkah ini semua hanya fatamorgana? Ah rasanya tidak, karena saya sedang tidak berada di gurun pasir.

Tak seperti acara resepsi pernikahan para artis, pejabat atau orang kaya yang serba gemerlap, maka sederhana adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hari itu. Tak ada organ tunggal, tak ada juru kamera, tak ada makanan dan minuman beraneka ragam, tak ada gedung yang besar dan mewah, bahkan undangan yang kami sebarpun hanya ditulis tangan dan terbatas pada keluarga dan kerabat dekat. Bukannya kami tak mau, tapi memang kami bukanlah berasal dari keluarga berkecukupan walaupun tidak bisa disebut serba kekurangan. Dan kenangan yang tertinggal dari hari itu hanyalah beberapa foto hasil jepretan fotografer dadakan melalui lensa sebuah kamera yang untuk melihat hasil fotonya harus mencuci cetak film negatifnya lebih dulu.

Namun kamu salah jika mengira kemewahan resepsi pernikahan berbanding lurus dengan keharmonisan rumah tangga. Tak perlu saya buktikan kebenaran pernyataan itu, karena kamu juga akan tahu dengan sendirinya bahwa itu benar. Terimakasih kepada infotainment yang punya andil besar dalam menyingkap kebenaran itu. Namun bukan berarti juga pernikahan yang dirayakan dengan cara yang biasa saja menjamin terbentuknya sebuah rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah. Sebab kuncinya bukan pada mewah atau tidaknya sebuah resepsi pernikahan digelar, tapi pada seberapa kuat komitmen untuk mempertahankan pernikahan itu sendiri.

***

Berjarak 8 (delapan) tahun dari hari itu adalah hari ini. Itu artinya kami sudah melalui 8×365 hari atau 2920 hari sebagai pasangan suami istri. Kalau ragu dengan hasilnya hitung saja sendiri. Dalam rentang waktu yang tak sebentar namun terasa tak lama itu, tentu banyak cerita yang telah digoreskan dalam legder kehidupan pernikahan kami. Ada yang berlabel suka ada pula yang bertema duka. Sayang saya tak sempat menghitung untuk kemudian memberitahu kamu berapa banyak cerita bertema suka dan berapa banyak pula kisah berlabel duka. Yang jelas kalau diperbandingkan, kisah duka itu hanyalah pemanis dari kebahagiaan yang senantiasa mengiringi setiap jejak langkah kami.

Salah satu momen kebahagiaan yang paling spesial, tapi gak pake telor karena sudah punya, adalah saat empat tahun berselang dari hari itu, sesosok mahluk tuhan paling lucu, entah bagaimana caranya bisa meloloskan diri dari dalam perut istri saya. Aksinya itu ibarat Houdini yang sedang melepaskan diri dari jebakan yang mengancam nyawa. Tapi kali ini yang terancam bukan hanya si bayi, tapi juga juga ibunya yang tengah berjuang di antara hidup dan mati.

Dan tepat saat adzan isya  berkumandang, seorang wanita yang tak lagi muda, bisa kamu saksikan sedang menggendong bayi mungil berkulit putih, bermata sipit dan berbibir merah. Tampan sekali. Sejenak saya terhenyak dengan realitas itu. Benarkah ini anak saya? Namun ketika saya menoleh ke arah istri saya yang sedang nampak kepayahan, keheranan saya sirna sudah. Kesadaran pun merasuki diri, bersamaan dengan keinsyafan yang meresap di nurani. Ternyata segala keelokan bayi itu bermuara dari ibunya. Subhanallah!

Zie, begitu bayi yang sekarang hampir genap empat taun itu disapa. Singkatan dari Ghazy Rakan Ayyasy. Sudahlah, tak perlu mengernyitkan dahi untuk sekedar tahu apa artinya, sebab akan segera saya tularkan pengetahuan saya tentang arti nama itu kepada kamu. Kita pasti sepakat bahwa nama itu diambil dari kata dalam Bahasa Arab yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia bermakna “Pejuang yang Mulia dan Panjang Umur”. Semoga saja demikian adanya. Aamiin. Eh kamu tahu gak kalo dalam waktu yang tidak lagi lama, Zie bakalan punya adik yang juga laki-laki? Pasti tahu donk, kan saya kasih tahu barusan. Kalau masih belum tahu juga, jawabannya adalah iya. Jadi tolong jangan bilang belum tahu lagi ya.

Di hari pernikahan kami yang kini genap delapan tahun, mungkin seharusnya saya melakukan hal-hal luar biasa untuk merayakannya. Seperti membuat kejutan kecil dengan memberi kado yang disembunyikan di dalam tasnya biar pas dia buka jadi kaget lalu bilang “Ayah so sweet ih.” Mengerjainya dengan cara bersekongkol dengan tayangan reality show salah satu TV swasta biar dia kesel lalu nangis, tapi pada akhirnya akan ketawa bahagia melihat saya datang menutup acara sambil membawa sekuntum bunga. Atau barangkali berlagak romantis dengan mengajaknya dinner di salah satu restoran terkenal di Bandung, bertemankan lantunan syahdu suara biduan dan remangnya cahaya lilin. Keren ya sepertinya?

Tapi saya tak hendak terjebak dengan aksi stereotype semacam itu ah. Kalau boleh saya bilang, itu terlalu mainstream. Saya ingin membuat sesuatu yang unik yang merepresentasikan diri saya yang sesungguhnya. Apa itu? Kamu gak perlu tahu lah. Biarlah itu menjadi rahasia yang hanya saya dan tuhan saja yang tahu. Bukannya saya sombong atau pelit. Tapi ini menyangkut masalah privasi. Kamu pun tak sudi bukan andai kehidupan pribadimu di-kepo-in sama orang?

Nah, terkait dengan angka delapan yang menjadi penanda kebersamaan kami, ada beberapa fakta mencengangkan yang layak kita ketahui dan renungkan bersama. Fakta itu jadi ada karena saya sengaja mencarinya di internet biar delapan tak hanya jadi sekedar angka. Dan ketika mengetikkan angka delapan di internet, google sang penjawab segalanya memunculkan sekitar 8.370.000 hasil. Saya jadi senang kalau begini, karena itu artinya saya tidak perlu cape dan repot mengarang sendiri tentang makna filosofis di sebalik angka delapan. Lalala, yeyeye, hore, hore, hore.

Menurut salah satu situs yang saya kunjungi karena berada pada urutan paling atas pada hasil pencarian, delapan itu ternyata memang sebuah angka yang tak biasa. Si penulis artikel yang entah dari mana mendapat inspirasi, berkata bahwa fenomena angka delapan dapat diketahui dengan cara melihatnya dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang numerik, angka 8 dibentuk dari  dua buah angka 0 yang terhubung/menyatu. Secara bentuk dan rupa, angka 8 menyerupai rantai besi. Dari segi karakter, angka 8 bersifat kontinu, tidak berujung dan tidak putus. Dan secara filosofis angka 8 melambangkan adanya suatu hubungan persatuan seperti rantai yang saling terkait, mengikat dan menyatu. Begitu, katanya.

Saya sih sebenarnya bukan orang yang mudah percaya dengan hal-hal semacam numerologi yang membuat orang jadi mengkultuskan angka tertentu karena dipercaya ada kekuatan mistis di sebaliknya. Sebab saya yakin angka hanyalah sebuah media bantu bagi manusia untuk mengembangkan akal dan fikirnya, bukan malah untuk menumpulkannya. Tapi di sisi lain saya juga percaya bahwa di setiap yang telah tuhan ciptakan, pasti ada pelajaran bersamanya, termasuk pada angka delapan. Tapi pelajaran itu tentu tak akan serta merta muncul jika kita hanya berdiam diri dan tidak berfikir.

Sedangkan saya, melalui proses berfikir si penulis artikel itulah akhirnya mendapatkan pelajaran tentang makna filosofis dari angka delapan sehingga saya harus berterimakasih kepadanya untuk itu. Dan andai apa yang telah diungkapnya lewat tulisan memang demikian adanya, semoga saja makna positif yang melekat pada angka delapan tersebut, dapat menjadi semacam inspirasi dan motivasi bagi kami untuk membentuk sebuah keluarga yang akan menjadi pengejawantahan surga di fananya dunia. Rumahku syurgaku, itulah dia.

Sukajadi, 02 April 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun