Sebagaimana kita ketahui pada Jumat (21/8/2015) Presiden Joko Widodo mengumpulkan para pimpinan redaksi televisi nasional di Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, presiden yang didampingi oleh Seskab Pramono Anung, Mendikbud Anies Baswedan, Menkominfo Rudiantara dan Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki menyampaikan pesan agar pers nasional bisa mendidik masyarakat, tidak semata-mata mengejar rating.
Menariknya, kritik presiden terhadap televisi, bukan pada news-nya (pemberitaan) tetapi lebih kepada program hiburan dan sinetron. Jokowi, misalnya, menyoroti program-program yang sudah lama dikeluhkan publik seperti dari kalangan pendidik (guru), tokoh masyarakat dan ormas-ormas agama.
Para pendidik menyoroti betapa jerih mereka dalam mendidik anak tentang budi pekerti di sekolah menjadi sia-sia karena pada sore dan malam harinya televisi justru menyuguhkan program (tontonan) yang berbanding terbalik dengan yang diajarkan. Tokoh masyarakat, juga dirinya, sangat prihatin dengan tontonan yang menonjolkan budaya (mentalitas) konsumtif dan bermewah-mewahan. Sementara kalangan ormas agama mengeluhkan banyaknya program televisi yang menanyangkan hal-hal yang berbau tahayul, tidak rasional.
-------------------------------------------------------------------------
Mengapa presiden tidak mengkritik televisi karena news-nya, melainkan karena program-program hiburan dan sinetronnya? Ini kemungkinannya:
News (Berita)
Hanya wartawan, atau setidaknya orang sudah pantas diberi kartu pers, yang akan dipercaya oleh stasiun televisi untuk mencari dan menuliskan sebuah berita. Pemilik kartu pers pastilah orang yang sudah terlatih dalam penulisan berita serta paham akan kode etik jurnalistik. Wartawan yang paham dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik pastilah akan mengikuti kaidah-kaidah penulisan berita yang benar.
Ketika sebuah berita ditulis dengan mengikuti kaidah teknik dan etik yang benar pastilah isi berita bisa dipertanggungjawbakan. Jika isi sebuah berita bisa dipertanggungjawabkan, maka apa pun subjek, objek, dan peristiwanya dia akan menjadi sumber pengetahuan dan pelajaran bagi publik.
Bukankah berita bisa direkayasa? Benar! Tetapi, ‘berita’ hasil rekayasa bukanlah sebuah berita melainkan cerita fiksi. Sebuah, kebohongan. Bila itu dilakukan maka siperekayasa sudah melanggar kode etik, bahkan boleh jadi sudah melakukan tindakan kriminal.
Jika itu alasan presiden tidak risau terhadap news televisi, maka dapat kita simpulkan bahwa presiden masih percaya dan karenanya berharap bahwa wartawan televisi dapat, telah, dan akan selalu bekerja secara profesional.
Program Hiburan
Kategori tayangan hiburan yang dikritik adalah yang mendorong publik untuk konsumtif, bermewah-mewahan dan tidak rasional. Loh, apa salahnya?
Bukankah percaya pada hal-hal berbau tahayul, perilaku konsumtif, suka bermewah-mewah, malas bekerja, adalah hak seseorang? Bukankah tingginya rating acara-acara bertema tahayul, kemewahan, dan konsumtif mengindikasikan banyaknya anggota masyarakat kita menyukai (berhak) perilaku seperti itu?
Kalau ada yang merasa bahwa menyukai tontonan sinetron, lawakan, atau hiburan-hiburan yang berkategori norak dan irasional adalah hak, maka kita pun harus membiarkan perilaku-perilaku berikut ini terjadi di sekitar kita: menggunakan narkoba, melacur, atau berjudi. Mengapa?
Menggunakan narkoba, yang rusak adalah diri pelaku sendiri. Tetapi yang dikhawatirkan adalah kecanduan akan mendorong orang tersebut melakukan tindakan kriminal untuk mendapat uang agar bisa membeli narkoba.
Demikian juga melacur dan berjudi. Bukankah uang yang digunakan adalah uangnya sendiri, lantas kenapa mesti di larang? Ketika melacur dan berjudi menjadi kebiasaan, dikhawatirkan dapat mendorong orang tersebut melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang agar bisa memenuhi ‘hobinya’ itu
Lalu apa hubungannya dengan kepercayaan pada hal-hal berbau tahayul dan mitos? Perilaku tahayul sama buruknya dengan ketiga kebiasaan mengonsumsi narkoba, melacur, dan berjudi. Mengapa?
Masih ingat beragam kasus kriminal-konyol yang pernah terjadi di negeri ini? Ada pemuda yang menjadi pembunuh berantai hanya karena terpikat akan memperoleh kesaktian setelah membunuh sekian puluh korban? Ada pemuda membongkar kuburan hanya untuk mendapat potongan kain kafan pembungkus mayat? Ada lagi ratusan orang tertipu oleh seseorang yang mengaku bisa menggandakan uang dengan cara gaib? Atau berita tentang adanya gadis dan ibu rumah tangga yang terpaksa menanggung aib dicabuli oleh orang yang mengklaim bisa memberi pesugihan? Apa penyebab semua itu? Kepercayaan pada hal-hal yang tidak rasional.
Jadi, bila dampak tidak langsung yang kita pertimbangkan terhadap suatu perilaku maka jelaslah bahwa tayangan-tayangan yang mengumbar dan mengukuhkan perilaku irasional publik sangat buruk dampaknya. Sama buruknya dengan kebiasaan mengonsumsi narkoba, kebiasaan melacur, atau kebiasaan berjudi.
Oleh sebab itu, kritik presiden terhadap kualitas tayangan (sinetron dan hiburan) di televisi nasional perlu mendapat perhatian dan dukungan semua pihak.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H