Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia (Baru) 70 Tahun, Ironisnya Sudah Pikun

9 Agustus 2015   07:52 Diperbarui: 9 Agustus 2015   07:52 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pikun, dalam konteks manusia artinya “kelainan tingkah laku yang biasa terjadi pada orang yang sudah berusia lanjut; linglung; pelupa”. Dalam konteks benda (peralatan, perkakas, mesin) arti kata pikun adalah “tidak berfungsi dengan baik karena sudah lama atau tua.” Itulah makna kata pikun yang dapat kita temukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Berdasarkan dua definisi tersebut, KBBI secara jelas mempertalikan kata pikun, baik untuk manusia maupun benda, dengan usia tua. Ya, kenyataannya memang kurang-lebih begitu. Secara alamiah tidak ada makhluk dan benda-benda yang sanggup bertahan dan melawan usia.

Usia 70 tahun, bagi seorang manusia (meskipun ada kekecualian untuk sebagian kecil orang) adalah batas produktivitasnya. Untuk peralatan, perkakas, dan mesin-mesin, pada usia 70 tahun umumnya sudah menghuni museum.

Orang-orang lanjut usia mengalami kepikunan, sementara mesin-mesin keluaran tahun-tahun lawas banyak yang tak lagi berfungsi dengan baik, adalah keniscayaan. Itulah hukum alam.

Bangsa dan negara yang besar itu lama eksisnya
Bagaimana dengan sebuah bangsa/negara? Apakah kejayaannya dipengaruhi usia juga? Ya. Sejarah telah membukukan banyak contohnya. Di muka bumi ini sudah tak terhitung banyaknya bangsa , kerajaan dan/atau negara yang semula bukan apa-apa, lalu berjaya, kemudian meredup, untuk akhirnya tenggelam sama sekali. Itu pun keniscayaan, hukum alam.

Meskipun kemunculan, kejayaan, kemunduran, dan kehancuran sebuah bangsa/kerajaan/negara terikat pada hukum alam—tidak abadi, tetapi sebuah bangsa/negara yang mendapat apresiasi sejarah umumnya karena masa kemasyhuran dan kejayaannya yang panjang. Sekedar contoh: Kerajaan Mesir Kuno eksis selama 3 millenium, Yunani Kuno Menguasai Eropa sedikitnya 1 millenium, bangsa Mongol—penakluk Asia dan Eropa—berjaya selama 3 abad; kekaisaran Ottoman—penguasa tiga benua—eksis selama 5 abad.

Di nusantara sendiri, ada dua kerajaan besar yang pernah eksis, yaitu Sriwijaya selama 5 abad dan Majapahit selama 2 abad. Sekarang di atas peta nusantara ini sedang berkuasa sebuah negara yang menyebut dirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pertanyaannya, akan sampai kapankah negara yang didirikan di atas pondasi Pancasila ini akan eksis? Entahlah! Yang pasti, pada tanggal 17 Agustus tahun 2015 ini, negara yang dibanggakan oleh warganya sebagai Zamrud Khatulistiwa ini akan genap berusia 70 tahun.

Kita memang tidak akan pernah tahu takdir sebuah bangsa dan negara, termasuk takdir Indonesia. Apakah NKRI akan menjadi negara besar yang diapresiasi dunia atau hanya akan menjadi negara pecundang, tidak ada yang bisa memastikannya.
Meskipun begitu, untuk memprediksi masa depan NKRI, kita bisa membandingkan kondisi negara saat ini dengan kondisi sebelumnya, atau membandingkan kedaan negara kita dengan negara tetangga yang ‘sebaya’.

Membandingkan keadaan
Bila kita bandingkan keadaan Indonesia saat ini dengan Indonesia pada 2 atau 3 dekade lalu kita akan menemukan fakta bahwa saat ini NKRI sedang mengalami kemunduran. Sekedar contoh saja, 2-3 dekade lalu kita pernah mengalami swasembada beras, industri bertumbuh pesat, prestasi anak bangsa dalam bidang olah raga disegani di kawasan regional, kharisma militer kita menggetarkan nyali negara-negara jiran, kejahatan jalanan berada pada tingkatan minimal. Sekarang? Silakan jawab sendiri!

Selanjutnya, mari kita bandingkan keadaan negara kita dengan negara tetangga yang usianya jauh lebih muda dari negara kita, ambil contoh Malaysia dan Vietnam. Malaysia, yang pada dekade 1960-an hingga dekade 1970-an berguru kepada kita, sekarang kitalah yang berguru kepada mereka. Vietnam, yang boleh dibilang masih dalam pengaruh trauma perang, sekarang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Investor seakan mengantri ingin menanamkan modalnya di negeri yang pernah mempermalukan Amerika dengan kehebatan perang grilyanya itu. Bagaimana dengan Indonesia sekarang?

Dua tau tiga dekade lalu ada beberapa industri besar beroprasi di sini, sebut saja Mitsubishi, Sony, dan Nike. Belakangan semuanya hengkang akibat tidak tahan dengan kebobrokan birokrasi di republik ini. Sekarang, Indonesia sepertinya hanya menarik bagi investor asing yang bergerak dalam eksploitasi sumber daya alam (pertambangan) dan/atau jasa konstruksi (pemborong), itu pun disertai persayaratan: tenaga kerjanya, terlebih yang ahli, haruslah dari mereka.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini wajar bila makin hari jumlah pengangguran makin tinggi. Wajar pula bila jutaan orang harus ‘blusukan’ ke mancanegara untuk mencari makan sebagai buruh kasar atau babu.

Bangsa yang pikun
Apa yang salah dengan bangsa Indonesia dan NKRI, sehingga sulit untuk tumbuh sehat/makmur, kuat, dan bermartabat? Sepertinya bangsa ini sedang mengalami kepikunan. Ironisnya, kepikunan itu menyerang terlalu dini.

Pikun, pada manusia yang dalam dunia medis disebut demensia, ditandai dengan salah satu, sebagian, atau semua (gejala) perubahan perilaku berikut ini :
1) Mood yang tidak stabil, mudah tersinggung, marah-marah, tidak acuh terhadap kebersihan diri.
2) Kesulitan menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu, kesulitan mengambil keputusan.
3) Mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sering salah dan lupa tempat meletakkan barang sehari-hari, lupa menyiapkan makanan, atau sudah meletakkan makanan dimeja tetapi lupa menyantapnya.
4) Sering mengalami disorientasi (lupa arah), lupa/tidak mengenali jalan yang biasa dilewati sehari-hari.

Layaknya orang pikun, bangsa ini juga mengalami gejala yang analog:
1) Mudah tersinggung, mudah marah, dan mudah ngamuk nyata terlihat dalam perilaku keseharian bangsa kita dewasa ini. Bicara kasar di luar batas kepatutan sudah menjadi kebiasaan. Menuntut kenaikan upah disertai perusakan jadi lumrah. Kecewa karena kalah dalam kontestasi politik dan proses hukum melakukan pengerahan massa, demo yang tidak jarang disertai aksi perusakan juga sudah menjadi lazim.

Bahkan, hanya karena sakit hati, banyak pejabat negeri yang tak segan balas dendam terhadap musuh-musuh poiltiknya menggunakan undang-undang sebagai senjata.

2) Kesulitan menemukan rumusan (kesepakatan) yang tepat untuk dijadikan pegangan bersama dalam mengelola negara. Dalam bidang politik dan hukum, ambil contoh soal KPK dan Pilkada. Para pakar dan politisi sibuk berdebat tentang sistem apa (undang-undang) yang tepat untuk mengatur kinerja KPK dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetapi gagal mengedepankan substansi keberadaan KPK itu sendiri dan gagal memahami aspirasi rakyat dalam soal mengapa, untuk apa, dan untuk siapa pilkada itu harus diadakan.

Dalam bidang pendidikan, kita gamang menentukan kurikulum yang pas untuk mendidik anak negeri. Bahkan soal MOS (masa orientasi studi) saja energi bangsa ini nyaris terkuras memperdebatkan soal penting-tidaknya acara yang berbau feodal itu diadakan atau dipertahankan.

3) Untuk memahami kebutuhan utama rakyat pun elit bangsa ini sepertinya mengalami kesulitan, apalagi untuk memenuhinya. Sebut saja soal harga barang kebutuhan pokok. Rakyat sejatinya tidak terlalu hirau dengan kurs dolar, tata kelola migas, atau dwelling time barang impor di pelabuhan, yang rakyat inginkan adalah harga-harga kebutuhan terjangkau dan barangnya selalu tersedia.

Dalam bidang keamanan, rakyat juga tak perlu tahu soal undang-undang HAM. Yang penting bagi mereka, kemanapun mereka berpergian di dalam wilayah republik tercinta ini, mereka aman. Tidak ada rampok, begal, atau pemerkosa yang mengintai dan mengancam nayawa mereka.

4) Layaknya orang pikun, bangsa ini pun mengalami disorientasi. Kemana bangsa ini akan dibawa? Tidak lagi jelas.

Karakter bangsa hanya dijadikan topik diskusi dan penghias kurikulum sekolah, tetapi tak pernah jelas apa ukurannya, siapa yang harus dijadikan model, dan apa tindak lanjutnya. Konsep revolusi mental pun hanya bergema sesaat, lalu meredup tanpa jelas contoh penerapannya oleh sang penggagas.

Arah pembangunan ekonomi yang konon bercorak kerakyatan, hanya terlihat ‘papan penunjuknya’ saja, tetapi tidak pernah terlihat orang yang mengawali bergerak menuju ke arah yang ditunjuk tersebut.

----------------------------------------------
Semoga saja kepikunan ini bersifat sementara, reversibel, bisa disembuhkan. Jika tidak, sulit memastikan masa depan Indonesia, boleh jadi NKRI ini tak akan pernah merayakan hari jadinya yang ke-100.

Baiklah, apa pun kondisi mu saat ini, Indonesia. Aku adalah bagian dari mu. Boleh jadi kepikunanmu karena malfungsi diriku juga. Karena itu tulisan ini hanyalah otokritik . Kritik untuk kita semua, terutama diriku sendiri.

Dirgahayu Indonesia.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun