Setiap kali memasuki bulan puasa umat Islam biasa diingatkan agar tidak bertbuat sesuatu yang dapat menodai kesucian bulan Ramadhan. Tindakan yang biasa dikategorikan dapat menodai kesucian Ramadhan itu antara lain: makan, minum, merokok di tempat terbuka; membuka usaha warung makanan pada siang hari; membuka usaha / menyelenggarakan hiburan siang/malam yang dikhawatirkan dapat mengundang perbuatan zinah.
Tidak jarang, atas nama ‘kesucian’ bulan Ramadhan itu ada pihak-pihak tertentu yang mengklaim mendapat mandat untuk menjaganya. Kelompok ini pun lantas merasa berhak melakukan tindakan preventif dan represif (baca: kekerasan) demi menjaga kesucian Ramadhan dan membela kehormatan muslim yang berpuasa.
Tentu pertanyaan substansialnya (meski terkesan nyeleneh) adalah: Apa sih sesungguhnya definisi bulan suci? Mengapa Ramadhan harus dipandang sebagai bulan suci? Apa bedanya dengan bulan-bulan lain seperti Syawal, Dzulhijjah, Muharam, atau Rabiul Awal? Apa pula yang dimaksud dengan kehormatan orang berpuasa? Mengapa orang yang sedang berpuasa harus merasa pantas dihormati atau mendapat penghormatan? Siapa harus menghormati siapa? Haruskah orang yang tidak berpuasa yang makan minum di warung-warung terbuka dianggap melecehkan, menghina, merendahkan orang yang sedang berpuasa? Tentu jawaban detil terhadap seluruh pertanyaan- pertnayaan tersebut akan memicu debat yang tidak singkat.
Kesucian atau kekhusyukan?
Rasanya sulit untuk menemukan benang merah kriteria ‘suci’ atau ‘ternodanya’ sebuah bulan yang bernama bulan Ramadhan ini. Bila kesucian itu ukurannya kuantitas niat dan perbuatan maksiat (maling, rampok, judi, zinah, madat, korupsi dan sejenisnya) maka pastilah kita tahu bahwa bulan Ramadhan ini tidak berbeda degan bulan-bulan lainnya.
Demikian pula soal terhormat atau tidaknya orang yang sedang berpuasa. Tidak ada parameter yang benar-benar bisa digunakan untuk menarik batas antara ‘terhormat’ dengan ‘tidak dihormati’. Yang ada adalah ketidak senangan/ketersinggungan orang yang sedang berpuasa terhadap tingkah orang yang tidak berpuasa. Padahal, ketersingggungan itu sesungguhnya merupakan bukti bahwa orang tersebut berpuasa bukan karena keikhlasan dan ketaqwaan. Melainkan semata-mata karena pamrih (ingin diakui, dihormati, dimuliakan oleh sesama manusia).
Oleh sebab itu yang lebih tepat dipertalikan dengan kesucian dan/kehormatan Ramadhan itu adalah kekhusyukan. Khusuk menjalankan ibadah puasa. Khusuk, identik dengan ketenangan. Ketenangan di sini bukan berarti keheningan tanpa kebisingan, melainkan ketenangan bathin. Â Tidak akan ada kehusyukan tanpa ketenangan bathin. Kondisi seperti apa yang bisa membuat bathin orang menjadi tenang?
Benarkah bathin orang yang sedang berpuasa akan menjadi terganggu hanya karena melihat orang makan/minum di restoran dan/atau warung tenda yang buka pada siang hari? Rasanya, hanya orang–orang yang berpuasa secara naïf saja yang akan mengiyakan pertanyaan ini. Sebab, orang berpuasa memiliki kebebasan untuk memilih arah dan tempat melintas, tempat berkunjung, atau tempat bertransaksi tertentu. Dengan demikian, adalah naïf jika dia (orang berpuasa) harus marah dan memaki orang yang tidak berpuasa sebagi kambing hitam atas ketergodaannya.
Sebaliknya, cobalah bayangkan suasana bathin seorang ibu rumah tangga dengan penghasilan keluarga yang pas-pasan ketika harus dihadapkan pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang menggila menjelang dan selama bulan puasa! Â
Mana yang lebih menjadi penentu ketenangan berpuasa: orang berpuasa yang melihat orang-orang tak berpuasa ramai keluar-masuk warung makanan, atau orang mengalami kekhawatiran sulitnya memenuhi kebutuhan akibat kenaikan harga?
Penoda Ramadhan sesungguhnya
Jadi, penoda bulan suci Ramadhan yang sesungguhnya dan serius  bukanlah orang-orang yang nyata-nyata tidak berpuasa, melainkan orang-orang (boleh jadi sedang berpuasa juga) yang membuat gundah, resah, dan susah masyarakat. Siapa saja mereka itu?
 Para penguasaha/pedagang yang menaikkan harga barang di luar akal sehat dan daya beli masyarakat selama bulan puasa;
 Para pembuat/pengedar/pedagang barang-barang oplosan yang mengadung bahan-bahan haram (daging sapi dicampur daging celeng) dan yang bisa membahayakan kesehatan;
 Orang-orang yang menjual barang-barang kedaluarsa. Menjelang lebaran nanti biasa parsel-parsel berisi makanan kedaluarsa akan mudah kita jumpai;
 Orang-orang yang atas nama syiar agama, menggunakan pengeras suara luar untuk tadarus, yang menyebabkan banyak bayi yang kesulitan tidur sehingga ibu-ibu mereka juga tidak dapat tidur dengan nyenyak akibatnya mereka  pun tidak dapat menyiapkan makan sahur dengan tenang. Kita mungkin tidak menyadari bahwa apa pun bentuk ibadahnya, terlebih ibadah puasa, hanya dapat  berlangsung secara khusuk jika dijalani dengan kondisi bathin yang tenang.
Di negeri-negeri Barat, yang di mata kebanyakan muslim negeri ini disebut kafir, para pedagang dan pengusaha mereka justru menurunkan harga dan/memberikan potongan harga untuk seluruh masyarakat di saat masyarakat menghadapi perayaan hari besar agama di kala para anggota keluarga umumnya berkumpul.
Ironisnya, di negeri ini ketika Ramadhan tiba orang-orang saling berlomba mencari keuntungan materiil tanpa mempedulikan apakah itu adil atua dzalim, halal atau haram. Perbuatan orang-orang inilah yang sering menimbulkan keresahan di tengah-tengah umat. Oleh sebab itu, orang-orang inilah sesungguhnya yang pantas disebut menodai kesucian bulan Ramadahan.
Demi kekhusyukan ibadah puasa di bulan suci ini, adakah yang bersedia melakukan sweeping terhadap para penguasaha/pedagang nakal dan kemaruk itu?
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H