Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Anak Ayam 18 Juta: Ketika Harta Lebih Bermakna Ketimbang Rasa

8 Juli 2011   07:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dua bocah kelas dua SMP di Pade Kembang, Tasikmalaya, disidangkan atas dakwaan “mencuri” dua ekor anak ayam milik tetangganya. Dua bocah yang masih berusia 13 tahun itu, Ivan dan Rama, terpaksa menjalani sidang di Pengadilan Negeri Tasikmalaya setelah orang tua mereka tidak mampu memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar 18 juta rupiah yang diajukan si pemilik ayam. Itulah salah satu isu terbaru wajah keadilan hukum di negeri ini.

Terlepas dari bagaimana teknis dan kronologi serta motif perbuatan yang dilakukan oleh kedua anak di bawah umur tersebut, dalam konteks sosial kemasyarakatan ada hal menarik untuk dipertanyakan.

1.Kepada si penuntut
•Kemana hati nurani si pemilik ayam hingga tega “memeras” orang tua tertuduh yang notabene masih tetangganya sendiri?

•Mana yang lebih berharga di matanya, uang 18 juta rupiah(nilai ayam yang tidak logis) atau nilai kekerabatan antar tetangga?

•Andai orang tua tertuduh mampu membayar tuntutan sebesar itu, adakah si penuntut merasa halal memakan uang tersebut?

•Akankah dia layak berbangga bahwa dia termasuk orang bermartabat karena pintar dalam menyiasati seluk beluk hukum?

2.Kepada penegak hukum
•Andaikan tuntutan ganti rugi yang tidak masuk akal itu bukan gagasan murni si pemilik ayam berarti ada pihak ketiga yang campur tangan. Taruhlah itu oknum penyidik. Pertanyaannya sama, dimana hati nurani penyidik tersebut?

•Bukankah setiap penyidik mengetahui bahwa hukum diciptakan untuk kemaslahatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?

•Bukankah lebih bijak mendamaikan kedua pihak yang bertetangga, bahkan mungkin masih kerabat, itu ketimbang memanaskan suasana dengan mneruskannya ke pengadilan?

•Kasus serupa sudah beberapa kali berulang dan selalu pihak penegak hukum menjadi sorotan public. Mengapa para penegak hukum polisi, jaksa, dan hakim tidak belajar dari pengalaman kasus serupa?

•Mengapa mereka tidak menjadikan umur si pelaku, status pelaku yang masih pelajar, dan keadaan (kurang mampu) orang tua mereka sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan patut/tidak patutnya perkara tersebut dimeja-hijaukan?

•Kedua anak itu kini malu bersekolah karena kasus tersebut telah membunuh karakter dan masa depan sosialnya. Adakah ini menjadi pertimbangan nurani mereka dengan mengandaikan bila hal tersebut terjadi pada keluarga /kerabat mereka sendiri?

3.Kepada para pakar hukum
Apakah pengertian hukum sebagai panglima memang harus dimaknai bahwa penegakan (hukum positif) itu lebih prioritas ketimbang rasa kemanusiaan dan keadilan?

Jika jawabannya ya, maka belajar ilmu hukum sama artinya belajar menutup pintu hati nurani.

Sebagai orang yang mendambakan keadilan, sungguh saya (mungkin juga anda) sulit memahami logika penegakan hukum seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun