Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulah Para Pembela Tuhan

28 Juni 2011   10:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suatu hari di bulan suci

Setelah libur awal ramadhan (selama seminggu) berakhir Tarsim dan istrinya, seperti tahun-tahun sebelumnya, mulai bersiap-siap membuka kembali warung baksonya di terminal kota tempatnya tinggal. Sisa uang hasil berjualan yang di kumpulkannya menjelang liburan awal puasa pun dia habiskan untuk modal.

Sekitar pukul 10 pagi, semua perlengkapan makan pelanggan, aneka bumbu penyedap, mie putih dan mie kuning, bola bakso kecil dan besar, beserta beberapa dus minuman ringan dan air kemasan pun sudah tertata rapih.

Sesuai pengalamannya yang sudah memasuki tahun ke sepuluh berjualan di terminal tersebut, dalam bulan puasa biasanya pelanggan baru ramai menjelang tengah hari hingga selepas siang. Terbukti, hari itu pelanggan pertama datang pukul 10.30. Seperginya, pelanggan pertama itu Nyi Imas (istri Tarsim) segera mencuci mangkuk bekas pakai pelanggan.

Sementara itu di sudut belakang lapak yang hanya berukuran 3 x 4 meter tersebut Tarsim bersenda gurau dengan putri semata wayang mereka yang baru berumur 4 tahun, yang selalu mereka ajak saat berjualan. Terdengar jelas oleh Nyi Imas rengekan sang buah hati kepada ayahnya agar tidak lupa membelikannya baju baru untuk lebaran.

“Ya Sayang, nanti pasti ibu belikan” timpal Nyi Imas atas rengekan putrinya itu. “Rajin-rajin saja berdoa agar dagangan kita selalu laris ya Sayang” kata Nyi Imas sambil memeluk dan mengecup kening anaknya dengan lembut.

Tiba-tiba….
Sebuah truk, dua pick up, dan puluhan sepeda motor masuk terminal dan mengerem mendadak menimbulkan bunyi (rem) mencicit. Ratusan orang berpakaian mayoritas putih, berkopiah putih, bersyal hijau-putih, dan di tangan mereka tergenggam tongkat dan pentungan berhamburan, menyebar , dan merangsek ke lapak-lapak penjual makanan dan minium di terminal itu.

Dengan satu kali pekikan ”Allahu Akbar!” yang membahana maka semua lapak tadi, tak terkecuali lapak tarsim dan Istrinya hancur, berantakan, tidak berbentuk lagi. Bahan makanan dan minuman jualan Tarsim yang baru laku satu porsi itu pun habis, berserakan, menyatu dengan tanah lantai lapak.

“Bapak-bapak, apa salah kami?” protes Nyi Imas. “Kami ini rakyat miskin, modal kami cari makan semuanya ada di warung ini Bapak, tolong jangan dihancurkan…” teriak Imas mengharap iba orang-orang yang sedang kalap itu.

“Jangan banyak cingcong kamu Iblis!” bentak salah seorang destroyer itu. “Kamu tahu ini bulan puasa, berjulan makanan seperti ini adalah perilaku iblis, merusak kesucian ibadah ramadhan. Berhenti dulu berjualan di siang hari semala bulan puasa ini, hormati orang-orang berpuasa di bulan suci” lanjut pria besar-tinggi berwajah timur tengah itu dengan kasar.

Nyi Imas tak mampu berkata-kata lagi, berdiri pun dia kesulitan, tubuhnya gemetar, ia hanya mampu menangis, meratap sambil memeluk erat putrinya yang menjerit histeris ketakutan.

“Astagfirullahalazim. Pak, kami ini juga muslim Pak, kami juga berpuasa Bapak” timpal Tarsim terbata-bata mencoba memohon pengertian para penghancur lapak mereka.

“Gak usah berlagak istigfar segala kamu. Tahu apa kamu soal agama, kamu ini setan munafik tahu!” sergah si pria tinggi besar sambil melayangkan tinjunya ke rahang Tarsim (bogem mentah itu menyebabkan Tarsim kesulitan mengunyah makanan selama seminggu).

Puas mengobrak-abrik lapak para pedagang makanan yang umumnya (terutama Tarsim) bermodal cekak itu, para penyerang itu pun pergi dengan , meninggalkan bahana teriakan “Allahu Akbar”.

Tinggallah para pedagang terminal dengan derita fisik, batin, dan kerugian ekonomi yang membuat mereka lunglai.

“Ya Allah, apa sesungguhnya dosa hamba Mu yang lemah ini? JIka memang pekerjaan hamba Mu ini sebuah dosa yang tak termaafkan, hamba rela menerimanya ya Allah. Tetapi perkenankan hamba Mu meminta jalan keluarnya ya Rabb. Hamba tak punya ketrampilan lain selain berjualan seperti ini ya Allah” ratap Tarsim memohon kepada Allah sambil memangku putrinya diiringi isak tangis istrinya

Sambil memandangi wajah dan membelai rambut putrinya yang tampak pucat yang mulai tertidur karena shok dan kelelahan itu, Tarsim bergumam: “Maaf kan ayah Sayang, ayah tak berdaya, ayah mungkin tak bisa memenuhi janji ayah untuk membelikan mu baju baru di hari fitri nanti”

28 Juni 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun