Mohon tunggu...
Eka Nurlela
Eka Nurlela Mohon Tunggu... -

Hanya wanita sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jingga untuk Senja.

24 Juni 2014   19:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:17 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kau yakin tak akan temaniku di sini Senja? Menikmati sore hari pantai yang indah dengan ulasan oranyenya langit yang menggoda yang harusnya kita nikmati bersama." Aku tertunduk dan mengusap air mataku.

Tak ada jawaban apa pun dari Senja, hanya angin yang berhembus temaniku dalam nuansa sunset sore ini. Aku benar-benar terpukul dan terus terkurung dalam renungan dalam, sambil sesekali kuusap linangan air bening di pelupuk kelopak mataku.

Rasanya tak ada aliran semangat mengalir dari hidupku. Hanya dingin, kaku, dan hambar kunikmati setiap detik sisa nafasku. Kata mereka hidup ini indah, bunga itu harum dan pelangi itu cantik. Tapi untukku tak demikian.

Meski banyak hati tulus hiburku, meski tak sedikit kebaikan hampiriku, tetap saja semua itu sia untukku. Berjalan saja rasanya tak napak, hanya terus jalani tanpa merasa. Terkurung dalam kesendirian, terkunci dalam kesepian dan jatuh terasa masih membekas luka lebam.

"Sampe kapan lo Ga kayak gini? haah?" Sahabatku selalu saja setia temaniku, meski kuhanya balas hadirnya dengan kecut dinginku.

"Sampe kapan lo nanya itu ke gue? Sampe kapan lo terus pura-pura selalu ada di samping gue To? Lo urusin aja hidup lo!" Aku bosan sekali dengan kalimat tanya seperti itu.

"Gila lo Ga, pura-pura kata lo? Jingga..denger ya! Gue di samping lo karena gue sadar lo udah terlalu lama nyiain sisa idup lo dan pelan-pelan lo buat diri lo jadi pengecut. Paham lo?"

"Pengecut, jangan sok tahu lo Anto! Karena lo gak tau jadi gue."

"Ya emang gue gak tau jadi lo Ga, tapi setidaknya gue bakal tau apa yang akan gue lakuin. Gak kayak lo yang cuma asik memperburuk diri." Anto langsung saja bergegas tinggalkanku, dan aku? Hanya diam tak bereaksi.

Hanya goresan hitam putih yang temaniku dalam kamarku, kubuat gambar yang sangat indah, kesertakan pula kalimat piluku dalam gambar tersebut. Khawatir bukan dimiliki oleh sahabatku Anto, melainkan orang terdekatku pun selalu saja hadirkan paras itu.

Aku hanya diam, diam, dan diam. Rasanya pendengaranku telah tuli dengan pertanyaan mereka, penglihatanku telah buta dengan perhatian mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun