Mohon tunggu...
Kanaya Mulia Putri
Kanaya Mulia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

hobi nulis dan edit foto

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Surat untuk Gen Z: Implusif dan Senangnya Gen Z Mengikuti Tren Fashion Menjadi Boomerang

6 Januari 2024   23:10 Diperbarui: 23 Januari 2024   15:37 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pakaian, membeli pakaian. (Sumber: SHUTTERSTOCK/DIPRODUCTIONS via kompas.com)

Gen z merupakan mereka yang lahir anatar tahun 1995 hingga 2010 gen z memiliki ciri khas pada pola konsumsinya. Gen z menjadi target para perusahaan karena keimplusifannya dalam belanja apalagi berbelanja online. 

Serta gen z sangat mudah terpengaruh oleh iklan serta soft selling seperti konten review barang. Keakraban gen z dengan media social mempengaruhi perilaku konsumen mereka, perilaku konsumen menurut Yuniarti adalah proses individu dalam memilih, membeli, menggunakan, atau membuang suatu produk, jasa, ide, atau ide untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan.

Era gen z adalah era digital berkembang pesat dan mereka suka bermain social media, menurut penelitian pada tahun 2023 gen z dalam sehari sedikitnya lima kali memeriksa social media. Terutama TikTok karena fiture tiktok berbeda dengan sosial media lainnya juga gen z bisa dengan mudah mengekspresikan dirinya sendiri pada setiap konten yang dibuat ditiktok. 

Semakin banyak konten bermunculan trend trend semakin banyak pula, sehingga gen z selalu ingin mengikuti trend dan tidak mau ketinggalan. Terlebih pula sekarang ada fiture keranjang kuning di tiktok. 

Video yang berseliweran dibarengi keranjang kuning, sehingga orang yang melihat dan tertarik dengan segala macam barang atau fashion yang ada di video bisa langsung membeli di keranjang kuning. 

Berdasarkan laporan eMarketer, Generasi Z akan menghabiskan USD 447 miliar untuk belanja online pada tahun 2023. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi USD 653 miliar pada tahun 2025.

Megutip data dari Global Web Index (GWI) alasan gen z berbelanja online secara implusif karena tidak ingin ketinggalan trend dan promo, menyenangkan karena membeli barang baru, proses checkout mudah & cepat, apresiasi diri sendiri, dan dapat untung dari penawaran menarik. 

Dari data tersebut gen z setiap berbelanja online tidak mementingkan potensi penggunaan barang dimasa depan. Gen z membeli barang hanya untuk kepuasan semata. 

Menurut Waworuntu populasi gen z merupakan yang terbesar sekita 32% dari populasi dunia dan tentunya hal ini berdampak pada penjualan produk secara. 

Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi

Tercatat di Navigasi Indonesia e-commerce 2021 produk fashion menjadi retting tertinggi berbelanja online. Gen Z menyukai soft selling dibandingkan hard selling mereka juga lebih banyak terpengaruh oleh sosial media.

Gen z sangat mudah implusif dalam membeli suatu barang terutama berbau fashion, sedangkan perkembangan fashion itu sangat cepat hingga muncul istilah "fast fashion". 

Implusif buying adalah keputusan pembelian tanpa direncanakan sebelumnya.  Fast fashion sendiri adalah pakaian atau produk fashion yang harganya murah serta sangat trendi dan di produksi secara massal. 

Menurut teori Trickle-up fast fashion terjadi karena trend fashion baru ditentukan oleh kelas sosial, ketika trend tertentu sudah sangat popular hingga di kalangan bawah maka kalangan atas akan meninggalkan trend tersebut dan mencari tren baru lagi. 

Seperti influencer yang membuat konten review fashion ketika konten viral di khalayak maka dia tinggal menikmati hasil dan berlanjut membuat konten-konten baru disertai keranjang kuning.

 Tentunya gen z tidak sadar secara tidak langsung dengan hal sederhana menonton konten influencer lalu mengklik keranjang kuning telah membuat sampah pakaian semakin menumpuk.  Tercatat pada Fibre2Fashion konsumen akan membuang 60% pakaiannya setahun setelah membeli dan trend fashion akan terus berubah ubah.

Foto: Dok. Pribadi
Foto: Dok. Pribadi

Gen z sangat up to date dan suka mengikuti trend karena sering bermain social media dan Sebagian besar konsumen Gen Z mengikuti selebriti di media sosial untuk mencari inspirasi pakaian yang sedang trend. 

Bisa dibilang tren produk fashin ditentukan oleh masyarakat, karena selebriti media sosial berperan sebagai trendsetter. Dalam hal ini bukan ditentukan oleh mereknya, melainkan oleh seleb media sosialnya. melihat pakaian lucu atau sedang trend di konten para influencer, gen z langsung cepat membeli pakaian itu terlebih harganya murah. 

Dengan kemimplusifan gen z tersebut tidak memikirkan dampak yang terjadi Dimana pada tahun 2017 industri pakaian telah menggunakan 54 juta ton bahan baku sintesis polyester. 

Menurut Industri fast fashion menggunakan bahan kimia pada lebih dari setengah proses produksinya, selain polyester atau bahan baku sintetis. 

Dimulai dengan penenunan dan pemintalan, yang memerlukan akselerator atau pelumas pada mesinnya kemudian menggunakan senyawa kimia dalam proses produksinya, seperti cairan pemutih, surfaktan, pelembut, zat pewarna, serta bahan kimia lainnya.

Sekitar 18,6 juta ton tekstil dibuang ke tempat pembuangan sampah dan dibuang ke laut pada tahun 2020. Selain itu, konsumen rata-rata membuang 60% pakaian mereka hanya dalam satu tahun. 

Sampah tekstil global akan mencapai 300 juta ton pada tahun 2050 jika tren ini terus berlanjuT. Menurut studi YouGov, 66% orang dewasa di Indonesia membuang setidaknya satu potong pakaian dan 25% membuang lebih dari sepuluh potong pakaian setiap tahunnya.

Pada tahun 2021, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil, yang merupakan 12% dari limbah rumah tangga, menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN KLHK).

sumber: unsplash.com
sumber: unsplash.com

Melonjaknya fast fashion pada gen z lalu orang-orang mulai memperhatikan dampak buruk untuk kedepannya maka muncullah kampanye "BUY LESS, CHOOSE WELL, MAKE IT LAST". 

Kampanye ini diserukan oleh Vivienne westwood seorang designer dari Inggris sebagai pedoman untuk para gen z atau pun orang orang yang sangat suka berbelanja mengikuti trend. 

Ada tiga poin yang diutamakan dalam kampanye Vivienne westwood yang pertama jangan implusif membeli barang baru, kedua beli pakaian dengan material ramah lingkungan, dan yang ketiga gunakan pakaian yang secara desain bagus dan kualitas terbaik maka orang-orang akan jarang membeli pakaian baru. 

Kampanye "BUY LESS, CHOOSE WELL, MAKE IT LAST" salah satu upaya untuk menciptakan industri fashion yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab. 

Dengan mengurangi konsumsi pakaian, memilih pakaian dengan bijak, dan merawat pakaian agar tahan lama, dapat turut berkontribusi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

Kurangnya pengetahuan konsumen gen z dan kesadaran akan dampak lingkungan dari limbah tekstil menjadi masalah besar. 

Fast fashion dibuat secara massal oleh karena itu pabrik tekstil memproduksi secara besar besaran sehingga bahan bakar fosil dan batu bara yang menjadi bahan bakar pabrik otomatis penggunaanya banyak dan mencemari udara. 

Serta dari hasil pembakaran bahan bakar tersebut menghasilkan gas rumah kaca sehingga berakibat pula pada perubahan iklim, dan pada tahap pewarnaan tekstil merupakan tahap yang paling mencemarkan air bersih nomor satu.

Bagaimana para gen z mengetahui itu fast fashion? Ciri ciri produk fast fashion yakni harganya murah, sangat mengikuti trend, biasanya model pakaian tidak jangka Panjang atau timelessness. 

Adapun gen z bisa mengurangi kebiasaan membeli pakaian fast fashion tersebut, bisa diganti dengan membeli pakaian brand lokal yang produksinya tidak massal dan juga bahan yang digunakan ramah lingkungan seperti contoh brand lokal Sejauh Mata Memandang, Pijak Bumi, Sukkha Citta, Cotton Ink. 

Juga sebaiknya gen z bisa mengurangi screen time pada gadget agar tidak implusif membeli pakaian online dan juga dengan mengurangi screen time mata juga beristirahat dari layar gadget. 

Serta gen z juga bisa membeli pakaian yang bisa jangka panjang modelnya sehingga tidak terus menerus membeli baju. 

Gen z bisa juga melacak pengeluaran dan menetapkan anggaran belanja sehingga gen z tidak boros ataupun implusif membeli barang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun