Tempo tidak lahir begitu saja. Pada tahun 1933, Henry Luce menciptakan majalah Time di Amerika. Time menjadi model bagi majalah lain seperti Newsweek, L'Express, dan Der Spiegel. Time memperkenalkan berita sebagai cerita dan membuat informasi sebagai stimulus. Saya tertarik pada "filsafat" ini: pembaca diajak bertualang dalam kejadian, bukan sekadar disajikan data.
Perjalanan ini terjadi dalam dan melalui bahasa. Bahasa bukan hanya mengisahkan dunia, tetapi juga membentuknya. Bahasa sering terkait dengan kekuasaan. Sejak akhir 1950-an, bahasa Indonesia berubah, menjadi bahasa politik yang didominasi doktrin. Ia tidak lagi hidup dari percakapan leluasa, sulit menjadi bahasa kontemplatif atau humoris.
Tempo dan Bahasa yang Melawan Pembekuan
Saat "demokrasi terpimpin" digantikan dengan kekerasan oleh "Orde Baru", sifat "terpimpin" dilanjutkan dengan lebih brutal. Slogan dan akronim tetap ada, membuat bahasa menjadi otoriter dan birokratik. Tempo memilih bahasa yang melawan pembekuan ini, memproduksi berita-sebagai-cerita.
Berita di koran harian dan buletin adalah berita lugas. Namun, di Tempo, fakta tetap dihormati tetapi disusun tanpa formula tetap. Pendapat klise disingkirkan, kata klise dibuang. Bahasa dikembangkan variasinya. Kata "santai" digunakan selain "rileks", "dangdut" diperkenalkan oleh Putu Wijaya, dan cas-cis-cus menggambarkan pemakaian bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Jurnalisme Tempo: Menarik dan Unik
Dalam berita-sebagai-cerita, kebosanan adalah dosa penulis. Setiap cerita harus memikat, seperti dongeng 1001 malam. Isi cerita harus unik dan penting. Tempo menyusun kriteria untuk ini. Pembuka cerita harus memancing, dan penutupnya tidak berpetuah. Kisah harus mengandung suspens dan konflik, seperti novel yang baik.
Jurnalisme Tempo membutuhkan keterampilan menulis, sikap kreatif, terbuka, merdeka, kritis, dan rasa humor. Salah satu semboyan Tempo adalah "Jujur, Jelas, Jernih --- Jenaka pun bisa". Kejujuran, kejelasan, dan kejernihan penting, tetapi orang sering lupa akan "jenaka". Jenaka bisa melucuti fanatisme, mengendurkan permusuhan, dan menjangkau hati orang lain.Â
Dalam berita-sebagai-cerita, pembaca diajak masuk dalam proses narasi. Tokoh cerita diperkenalkan secara konkret, menggambarkan sosok manusia yang bukan sekedar kasus atau penyampai pendapat, tetapi memiliki sejarah dan perasaan.
Jurnalisme Tempo mungkin disebut "jurnalisme sastra" atau "jurnalisme interpretatif". Namun, yang penting adalah menampilkan manusia dan peristiwa dalam konteks dan proses, membuka kemungkinan untuk versi berbeda dari apa yang diketahui. Jurnalisme ini adalah jurnalisme dengan empati.
Setengah abad lalu, Tempo memulai perjalanan ini dan tak bisa dihentikan.