Â
Tulis Caknur, tahun 1993, mayoritas masyarakat Indonesia bermatapencaharian sebagai petani. Mereka tinggal di desa-desa. Hanya sedikit yang ladangnya cukup, lebih banyak di bawah garis kekurangan. Banyak diantaranya hanya sebagai petani penggarap. Disebutkan Caknur, penggarap tanpa punya tanah itu orang-orang miskin yang harus ditolong. Di saat musim panen, petani miskin ini menjual tenaganya dengan imbalan padi yang tidak cukup. Sambungan hidupnya dari menanam ubi-ubian atau jagung bahkan karena padi habis, bonggol pisangpun jadi makanan utama.
Â
Sementara di kota, tuan tanah kerap berkasus. Muncullah kalimat: "mengambil milik saya berarti melangkahi mayat saya." Ada kata harga diri dan bertaruh nyawa. Konflik agraria selalu berkelindan dengan tuan tanah dan rakyat yang terjepit. Tanah subur, tanah warga jadi rebutan pemilik modal. Rakyat yang kalah, lemah selalu tersingkir. Tanah direbut karena peruntukkan kebun sawit, kandangunan minyaknya berlimpah, emas atau peruntukkan sebagai pusat bisnis yang nilai tanahnnya melangit. Broker tanah, broker politik ada di sana. Suasana konflik agraria tahun 1993 hampir sama dengan Indonesia hari ini?.
Â
Lihat catatan sejak 13 Maret 2017, ada 450 konflik agraria dengan 1.265.027 hektar tanah konflik yang melibatkan korporasi (172 kasus), pemerintah (101 kasus) serta sesama masyarakat (16 kasus). Padahal dalam konstitusi negara, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat tegas, pelibatan negara mewujudkan kesejahteran melalui penguasaan bumi, air dan kekayaan alam. Tanah milik negara harus dikuasai penuh dengan tujuan memberikan keadilan ekonomi-sosial bagi masyarakat. "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Negara harus jadi garda terdepan dalam pemihakan kepada rakyat.
Â
Keindonesiaan  Â
Â
Selepas melihat sosio masyarakat Indonesia secara kritis, Caknur mengajukan pertanyaan. "Apakah kita belum menemukan Indonesia? Kalau jawaban diajukan dengan sedikit emosi, tentu saja akan berbunyi "sudah!." Amatan Caknur, Indonesia tahun 1993 masih sebagai negara tumbuh, belum selesai. Bahkan, dari aspek budaya, gambaran atribut keIndonesiaan belum terlihat. "Dari segi ini wujud kebhinekaan sudah konkrit, tetapi apakah wujud ketunggalikaannya?." Caknur menjawabnya: keindonesiaan dalam kebudayaan nasional adalah titik pertemuan dari puncak-puncak budaya daerah.  Universalitas serta kemanusiawian budaya  adalah tameng identitas keindonesiaan.
Â