Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Masih Ketakutan?

7 Desember 2020   05:33 Diperbarui: 7 Desember 2020   06:37 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: halaman depan Jawapos Minggu, 06 Desember 2020 M.)

Ada ekspektasi tinggi setelah seminggu berlalu, hari Ahad telah tiba, saya akhirnya buka-buka forum berbagi e-paper gratisan yang sebenarnya ilegal. Berharap menemukan bacaan bagus di koran Jawa pos Minggu kali ini.

Biasanya Jawa pos Minggu tampilan depannya spesial. Hampir mirip tabloid, dengan tema pembahasan yang berganti-ganti. Minggu lalu, seingat saya menyoroti tentang perkembangan film horor di tanah air yang katanya sudah mulai "naik kelas".

Dulu-dulu juga banyak hal informatif, seperti wacana pengembalian banyak benda bersejarah, macam keris dan sebagainya dari Belanda, dengan segala hambatan dan kendalanya.

Tapi kali ini, lihat judul halaman pertama rasanya jadi malas sendiri untuk membaca. Lagi-lagi berita tentang korona. Jadi tajuk utama di hari Minggu pula? Saya tak habis pikir, mengapa berita tentang virus ini tak ada libur-liburnya juga. Di akhir pekan yang seharusnya diisi dengan informasi menghibur dan menyenangkan, lagi-lagi malah diisi dengan berita duka yang entah kapan selesainya.

Saya sungguh miris, melihat di halaman depan koran, ada seorang jenazah yang diusung oleh paramedis dengan APD lengkap bukan main. Mereka pakai pakaian tebal yang mirip jas hujan, dengan masker biru. Saya tak tahu apa namanya. Peti matinya pun sudah dibungkus plastik, yang mungkin berlapis-lapis. Membayangkan sungguh tak tega, bagaimana perasaan keluarga yang ditinggal? Bagaimana perasaan almarhum?

Biasanya yang meninggal dan positif korona kadang diperlakukan kurang manusiawi, katanya. Dari kabar angin yang berhembus dimana-mana, kadang dimandikan tidak sempurna, bahkan ada yang bilang, beberapa sampai dikafani dengan masih mengenakan pakaian yang mungkin saja kotor atau bahkan najis. Disholatkan dengan sedikit orang, bahkan dulu pernah beredar rekaman video praktik salat jenazah yang keliru. Pun para tetangga ada yang enggan bertakziah.

Semua karena apa? Takut tertular kah? Kok begitu orang memperlakukan yang telah meninggal dunia? Rasanya jadi agak trenyuh. Orang yang terkena korona saat hidup, di tempat perawatannya bahkan lebih diperlukan secara manusiawi. Apalagi yang tanpa gejala. Maka setelah mati seharusnya mereka tetap mendapatkan hak-hak nya, juga kehormatannya.

Fakta di lapangan, pun rilis resmi dari organisasi kesehatan dunia, katanya belum terbukti kalau korona bisa menular dari orang yang telah meninggal. Maka seharusnya masyarakat tak perlu khawatir. Jika inangnya mati, seharusnya virus itupun akan ikut mati. Tapi seolah-olah pasien positif korona yang telah tiada mendapatkan penerapan protokol kesehatan yang jauh berlipat-lipat lebih ketat dibandingkan yang masih hidup.

Padahal korona bukanlah serupa virus Ebola, Marburg, kolera, atau penyakit kusta. Yang bahkan setelah meninggal, orang yang terinfeksi masih "berbahaya" untuk disentuh.

Kadang angan-angan pribadi mengatakan, apakah mereka itu gak terlalu berlebihan? Orang yang meninggal dunia karena korona, seharusnya diperlukan sama seperti yang wafat karena tuberkolosis, misalnya. Kita hanya perlu menghindari cairan yang keluar. Karena "mungkin" masih mengandung virus. Tapi tak sampai segitunya, memperlakukan jenazah ibarat orang kena penyakit kusta.

Akhirnya adegan-adegan pencegahan berlebihan mungkin akan makin memicu ketakutan masyarakat. Orang jadi panik kalau mendengar kabar tetangga sebelah ada yang meninggal karena korona. Lalu kian menimbulkan pemahaman kuat, kalau yang meninggal divonis korona seperti menjadi kabar memalukan. Cobaan pahit kematian, pun harus ditambah dengan risiko jadi bahan pembicaraan.

Seharusnya mereka mendapatkan pemulasaraan yang layak, dan diperlakukan sebagaimana biasanya. Yang telah merawat jenazah perlu untuk mandi, lalu sudah cukup. Apa yang membuat orang begitu ketakutan?

Namun lamunan itu segera saya gantung. Entahlah, sebaiknya bagaimana. Saya bukan dokter dan praktisi kesehatan. Namun hanya masyarakat biasa yang heran, jika virus korona itu sendiri juga akan mati bersama jenazah yang telah menjadi almarhum, kenapa orang masih ketakutan?

Walaupun Nahdlatul Ulama bukan badan kesehatan, saya sangat menyambut rekomendasi dari NU yang menyatakan bahwa jenazah korban korona harus diperlakukan dengan layak sebagaimana biasanya. Mendapatkan hak dan kehormatannya. Toh, dalam rekomendasi itu juga seingat saya disebutkan, tidak terjadi apapun pada mereka yang memulasarakan jenazah positif korona dengan semestinya.

***

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun