Kalau dipikir-pikir lagi, jangankan kesana, lihat pulaunya dari YouTube pun belum pernah. Tahu dampak langsung terhadap ekosistemnya juga tidak. Prosedural pengerjaan proyek juga tidak tahu. Lalu mengerti sebenarnya siapa pihak yang benar? Boro-boro.
Semua yang ditulis ulang di media sosial akhirnya bercampur opini. Kadang juga emosi. Dan bertendensikan referensi dari kolom artikel yang entahlah benar entahlah salah.
Isu apapun juga rata-rata demikian. Kebanyakan setelah membaca berita jadi menelurkan pendapat baru. Yang sebenarnya adalah perspektif pribadi, dan tak sesuai dengan kredensial. Itu bukan wilayah kita. Masalah itu diluar pengetahuan kita.
Apakah saya jadi sangsi sama situs portal macam tribun dan kompas? Tidak juga. Tapi apa yang mereka katakan kadang tidak bisa menggambarkan kenyataan seratus persen.Â
Seperti halnya kita melihat gajah dari ekornya saja, atau belalainya saja. Lalu berkesimpulan kalau bentuk gajah itu mirip ular. Apakah dengan begitu informasinya salah? Tidak juga. Informasi yang tidak utuh bukan berarti salah.
Akhirnya tak ada lagi berita yang menarik rasanya. Sebab semua juga akan segera hilang dengan sendirinya. Tenggelam oleh isu lain yang lebih baru. Lalu yang baru itupun juga akan dilupakan juga. Tergerus dengan yang lebih baru. Lalu yang... Ah, sudahlah.
Kecuali jika kompas memberitakan tentang desa saya. Itu baru benar-benar menarik. Sebab sesuatu yang memang saya pahami betul seluk beluknya ya apa yang setiap hari ada didepan saya ini. Akhirnya jika harus beropini pun, saya tidak akan ragu. Karena memang saya tahu.
***
Sekian...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H