Saya hampir tak percaya waktu mendengar kabar gembira itu. Secepat itukah? Sayangnya saya tak sempat mengucapkan selamat secara langsung. Bukan sebab korona, karena virus itu mungkin berkeliaran di jalan dan banyak orang telah menginjaknya mereka. Manusia tak hanya pakai desinfektan, tapi mereka menyerukan perlawanan dengan sepatu. Apaan sih?
Jika saya bisa membungkus sebuah hadiah, mungkin saya akan bikinkan sambal teri dan ayam goreng saja. Dia pasti sudah punya banyak bantal dan selimut. Saya juga tak ingat apa yang dia sukai, tapi saya pernah makan bersama dengan menu itu pada zaman dahulu kala...
Di sebuah momen yang tak pas, mungkin kita bisa bernostalgia. Atau setidaknya jika saya jadi tamu maka istrinya yang akan memasak untuk saya. Hitung-hitung mencicipi menu hariannya. Kalau saya bisa menebak, sebab saya masih terhitung masak-masak sendiri dan beli sayur-beli sayur sendiri. Jadi tak akan ada kejutan dalam menu makanan, kecuali bila saya pergi ke warteg.
Dan mungkin kebahagiaan itu akan makin lengkap, saat tiba-tiba saya dengar kabar lagi kalau dia sudah punya momongan. Berarti waktu sudah kian berlalu. Mungkin saya ingin memegang pipi bayi itu suatu saat. Sambil menebak, apakah dia mirip ayahnya? Ataukah mirip ibunya? Apakah dia akan tumbuh jadi humoris seperti kakeknya? Siapa tahu...
Yah... Kenapa cerita pendek ini tidak jadi cerpen yang pendek sekali? Saya juga tidak yakin apakah tulisan ini dibaca semua. Pokoknya asalkan kamu bahagia...
***
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H