Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Adalah Kemerdekaan Pikiran

4 September 2020   06:15 Diperbarui: 4 September 2020   07:05 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
vaidawaidule on pinterest

Kemerdekaan adalah bebas dari ketergantungan. Merdeka adalah tak terikat. Namun begitu banyak yang mengaku bebas, tapi demikian dibatasi geraknya. Terjajah oleh idealisme. Menjunjung tinggi paham Marxisme, namun terkekang oleh kapitalisme.

Suatu hari Malcolm X, tokoh muslim Afrika-Amerika justru mengaku kalau menemukan kebebasannya di dalam penjara. Di tempat itu, dia menjelma "mesin cetak" yang menulis sejuta kata.

Kebebasan dalam berpikir di ruangan sempit dan pengap dengan sel itu membuatnya menemukan sebuah arti. Saat dia bisa menikmati buku, dan tak peduli meskipun kacamatanya jadi kian tebal hari demi hari.

"Waktu berlalu tanpa ada secuil pikiran pun bahwa aku seorang pesakitan. Justru ketika itulah pertama kalinya aku merasakan kebebasan sesungguhnya yang sebelumnya tak pernah kudapat."

Yang lebih hebat lagi adalah Syaikh Ibnu Taimiyah. Salah satu murid beliau berkisah bahwa karyanya mencapai lima ratus judul. Dengan karya sebanyak itu, kira-kira butuh konsistensi empat halaman setiap hari. Mungkin saja lebih.

Menulis empat halaman itu bisa jadi perkara mudah. Tapi menulis "empat halaman setiap hari" jelas-jelas tidaklah mudah.

Menjelang akhir hayat, beliau dilarang berfatwa yang kontroversial oleh pemerintah. Beliau menurut. Tapi beberapa bulan kemudian beliau melanggar larangan itu. Pemerintah Mamluk mengambil tindakan. Beliau ditempatkan di benteng kota Damaskus. Terisolasi tentunya.

Tapi apa yang bisa menghalangi kemerdekaan Syaikh Ibnu Taimiyah? Dalam pengasingan beliau tetap bisa menulis dan berfatwa kepada para pengikutnya. Saat akhirnya pemerintah merampas alat tulis milik beliau, beliau masih bisa melakukannya dengan kertas bekas dan arang. Sesuatu yang ala kadarnya.

Tentunya kita tak bisa membuat seseorang merasa terpenjara, saat dia memiliki kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.

Atau kisah imam as-Syarkhasi. Yang ditempatkan dalam sebuah tempat terasing karena sebuah fatwa yang menyinggung sang Sultan. Mungkin tidak layak disebut dengan sekedar penjara. Sebab tempat itu konon merupakan sebuah sumur!

Tapi tak mampu menghalangi beliau dalam mengajar dan menulis kitab. Kitab al-Mabsuth yang lima belas jilid selesai dengan cara didiktekan kepada santri-santri beliau. Dan beliau masih memiliki satu karya lagi, dua jilid saat berada ditempat tersebut.

Agaknya sedikit malu saat wabah membuat beberapa dari kita beralasan telah dirampas kebebasannya. Kehilangan kemerdekaan. Mungkinkah kita sekedar menutupi rasa enggan dengan cari-cari pembelaan?

Dalam artian, sebenarnya kita bisa berpetualang jauh menyelam dalam sanubari. Mendengarkan telinga kita sendiri bicara. Menangkap setiap ide dan pengembaraan yang tak henti-hentinya ada di alam pikiran. Membentuk banyak bayangan yang berkelebat dalam benak, menjadikannya sesuatu yang lebih nyata dan bisa diraba.

Kita bisa hidup terbatas dengan sepetak rumah yang menghalang gerak bebas langkah kaki. Tapi siapa yang bisa membatasi gerak imajinasi? Sebab demikian liar dan tak terkendali, geliat dalam kepala itu tak bisa dikekang kecuali seseorang telah benar-benar mati.

Bahkan Stephen Hawking dengan segala keterbatasan fisiknya tetap bisa menulis buku, dan pemikirannya tetap didengar sampai ke banyak pelosok negeri.

Saat Bung Hatta dibuang di Banda Neira, dia tak lupa membawa serta "sahabatnya". Buku-bukunya. Menemaninya berpikir, menemaninya merenung, menemaninya dalam keterasingan. Meskipun sebenarnya dia bersama dengan Sjahrir.

Saat Bung Hatta dijemput dengan sebuah pesawat Catalina, dia hampir membawa semua bukunya pulang. Konon semua koleksinya muat dalam enam belas kopor. Tapi tak jadi dibawa. Karena Sjahrir memutuskan membawa serta tiga anak angkatnya. Pesawat Catalina tak akan kuat lepas landas dengan semua beban itu, jadi penumpang harus memilih. Buku, atau nyawa.

Bung Hatta meninggalkan semua bukunya di Banda Neira, kecuali mungkin beberapa. Sebuah keputusan yang katanya terus menerus dia sesali, meskipun artinya dia telah menyelamatkan tiga anak manusia.

Namun apakah kebebasan yang sesungguhnya? Dan kemerdekaan macam apa yang kita cari?

***

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun