Dalam artian, sebenarnya kita bisa berpetualang jauh menyelam dalam sanubari. Mendengarkan telinga kita sendiri bicara. Menangkap setiap ide dan pengembaraan yang tak henti-hentinya ada di alam pikiran. Membentuk banyak bayangan yang berkelebat dalam benak, menjadikannya sesuatu yang lebih nyata dan bisa diraba.
Kita bisa hidup terbatas dengan sepetak rumah yang menghalang gerak bebas langkah kaki. Tapi siapa yang bisa membatasi gerak imajinasi? Sebab demikian liar dan tak terkendali, geliat dalam kepala itu tak bisa dikekang kecuali seseorang telah benar-benar mati.
Bahkan Stephen Hawking dengan segala keterbatasan fisiknya tetap bisa menulis buku, dan pemikirannya tetap didengar sampai ke banyak pelosok negeri.
Saat Bung Hatta dibuang di Banda Neira, dia tak lupa membawa serta "sahabatnya". Buku-bukunya. Menemaninya berpikir, menemaninya merenung, menemaninya dalam keterasingan. Meskipun sebenarnya dia bersama dengan Sjahrir.
Saat Bung Hatta dijemput dengan sebuah pesawat Catalina, dia hampir membawa semua bukunya pulang. Konon semua koleksinya muat dalam enam belas kopor. Tapi tak jadi dibawa. Karena Sjahrir memutuskan membawa serta tiga anak angkatnya. Pesawat Catalina tak akan kuat lepas landas dengan semua beban itu, jadi penumpang harus memilih. Buku, atau nyawa.
Bung Hatta meninggalkan semua bukunya di Banda Neira, kecuali mungkin beberapa. Sebuah keputusan yang katanya terus menerus dia sesali, meskipun artinya dia telah menyelamatkan tiga anak manusia.
Namun apakah kebebasan yang sesungguhnya? Dan kemerdekaan macam apa yang kita cari?
***
Sekian...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H