[Catatan dari Buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya, Oleh Bakdi Soemanto.]
Mungkin masih relevan, mungkin tidak...
__________
"Puisi, bagi saya, adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan sepele dalam kata, yang bisa dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam." (Sapardi Djoko Damono)
Saat bersamaan, mungkin kita bisa memposisikan diri sebagai pengamat, penikmat, atau bahkan pencipta karya. Tapi sebaiknya pada poros yang sama, belajar untuk mendapatkan hal baru atau belajar untuk membuat hal baru.
Beberapa etika tentang dunia "diskusi tidak langsung" sangat indah untuk dikaji. Bukan tentang pelajaran yang menuntut sebuah nilai dan ujian, tapi pengalaman berharga yang bisa mengubah kepribadian.
"Orang lain membutuhkanmu. Mereka membutuhkan sumbangan pemikiranmu, cerita-ceritamu, dukunganmu dalam isu tertentu, atau sekadar ingin tahu bagaimana kamu memaknai hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Kamu bisa memenuhi keinginan mereka ketika kamu mampu menuliskan dengan baik pemikiran, cerita, atau posisimu dalam satu isu. Tulisan yang baik mewakili apa yang orang lain ingin suarakan tetapi tidak tahu caranya atau tidak cakap menyampaikannya." (A.S. Laksana)
Membaca menjadi aktivitas yang lebih dari diskusi pasif dengan penulisnya. Kita bisa membuktikan itu saat dengan penuh semangat, dalam beberapa bagian kita mencoret-coret sebuah buku fisik. Seolah sedang berdialog dan tak setuju dengan apa yang tertera dalam sebuah paragraf, kita lalu memberikan komentar tambahan dalam versi kita sendiri. Buku yang kita miliki akhirnya penuh dengan catatan kaki disana dan sini.
Pandangan akan definisi dalam banyak hal kadang selalu bergeser. Tak konstan. Termasuk motivasi dalam hal yang kita kerjakan sehari-hari. Dan adanya pergeseran makna itu sebenarnya membuktikan kalau kita semua terus menerus belajar. Meskipun kita menolak hal itu di alam sadar.
Bukti sederhananya seperti kita pernah merasa malu membaca kembali tulisan-tulisan lama kita. Jika muncul perasaan semacam itu, artinya jika kita menulis lagi sekarang, tulisan kita sudah tak lagi sama dengan yang dulu. Dengan sepenuh hati kita rela mengatakan, tulisan kita yang dulu tak memiliki dimensi dan kedalaman.
Tapi apakah kita pernah sadar? Jika kita hari ini tidak sama sekali bangga dengan karya kita yang dulu, bahkan mengaggap beberapa dari itu sedikit mengecewakan, maka seharusnya hal yang sama mungkin sebaiknya berlaku pada apa yang menjadi karya kita hari ini.
Sebaik apapun kita menganggap pencapaian yang berhasil kita buat hari ini, akan menjadi suatu hal yang tak menakjubkan di kemudian hari. Karena kita memiliki prinsip bahwa setiap kali menulis, setiap kali pula kita belajar kembali.
Kebanggaan dan kepuasan yang kita rasakan saat menyelesaikan sesuatu, kadang menjadi euforia sesaat. Lama kelamaan akan jadi hal yang biasa saja. Tapi itu juga tak buruk untuk dinikmati, sebab hal demikian adalah fitrah yang manusiawi. Sebelum mungkin suatu hari akan disesali juga. Siapa yang tahu pasti?
Kata yang sudah beranak-pinak dan sering tidak jelas lagi asal-usulnya itu, dilisankan dan ditulis oleh kiai, pendeta, pengacara, rakyat, guru, ilmuwan, juru warta dan-tentu
Dan yang sangat mendesak adalah sabda telah dengan ganas kita tertibkan demi yang mahakuat untuk meneguhkan kelas, mimbar, dan segala jenis media, kekuasaan.
Di ruang kelas, mimbar, dan segala jenis media, kata menjadi sombong karena merasa telah menjelma lembaga yang mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan sempurna." (Sapardi Djoko Damono)
Kita sebaiknya terus belajar, sampai apa yang kita tinggalkan memiliki irama. Bukan sekedar coretan serampangan yang bagaikan nada sumbang, alih-alih menyenangkan, justru membuat orang lain jadi meremang.
Atau kita terlalu percaya diri, mengaggap sudah sekelas (misalnya) Picasso yang bisa dengan seenak hati, meminjam bahasa pak Bakdi Soemanto, menandatangani sebuah kain kotor, yang akan dianggap orang lain sebagai sebuah lukisan abstrak.
Banyak orang di dunia yang bisa mengelabui kita dengan penilaian palsu, bahwa kita adalah pakar. Tapi ternyata ada jauh lebih banyak yang mampu menyadarkan diri, bahwa kita bukanlah siapa-siapa.
Kita tak perlu mendemonstrasikan diri. Kita hanya perlu meneruskan eksistensi, dengan tetap menjadi diri sendiri dengan rendah hati. Kita tak perlu mengusik arti kehadiran kita dalam ketiadaan. Sebab segalanya adalah semata karunia Tuhan.
***
Pada akhirnya, untuk menikmati puisi-puisi eyang Sapardi, seperti halnya kata pak Bakdi Soemanto, kita perlu latihan.
Menulis puisi mungkin bisa menjadi semacam curhat terang-terangan dengan bahasa isyarat. Sajak adalah rangkaian kalimat yang sangat pribadi, sebab meskipun semua orang bisa membaca sajak-sajak kita, namun tidak semua dari mereka mampu mengerti apa maksudnya.
"Jika puisi ini mengingatkan kita agar tidak memetik bunga, sebenarnya suatu peringatan bahwa bunga itu nantinya akan mati sendiri dengan indah." (Bakdi Soemanto)
Kita bisa mencurahkan keluh kesah, tanpa takut ataupun ada perasaan resah bila terjadi hal yang tidak diinginkan dari sebuah kesalahpahaman. Kita bisa berkilah, bisa mengelak, bahwa yang orang lain pahami bukanlah apa yang kita kehendaki. Meskipun mungkin kita jadi berdusta, terhadap para pembaca yang teliti.
"... Tetapi, kita harus insyaf pula bahwa penjelasan dan penafsiran sajak tidak pernah dapat menggantikan sajak itu sendiri. Sebab, sajak yang baik adalah ekspresi yang ideal dari kebenaran yang direbut dari kehidupan." (Profesor Dr. Andries "Hans" Teeuw)
Dalam penilaian pak Bakdi Soemanto, puisi bagi Sapardi Djoko Damono adalah alat ucap kecil, dalam rangka meraih penyajian pengalaman yang lebih besar. Walaupun puisi juga bisa menjadi gambaran besar untuk menyajikan hal yang kecil. Semua bisa dicitrakan dengan simbolisasi. Kisah hidup satu orang bisa menjadi pelajaran bagi semesta lain yang peduli. Kita hanya perlu bercermin, berharap tidak harus mengalami kepahitan sebab kecerobohan.
Jangan sampai mendulang kecewa, karena enggan membaca sejarah dan catatan. Padahal sudah jadi tajuk yang merupakan bahan gunjingan di koran-koran. Kemudian justru mengeluh dan mengatakan "aku sendiri lagi dalam keterasingan".
Sekali lagi saya terjebak untuk tertarik membaca buku yang spesifik. Dalam tulisan pak Bakdi Soemanto ini rihlah panjang eyang Sapardi Djoko Damono dijelaskan dengan rinci. Karya dan kiprahnya. Atau kehidupan masa kecil yang memengaruhi karya-karyanya.
Sebuah pembacaan kronologis atas karya-karya Sapardi Djoko Damono. Teliti dan menjelaskan interpretasi lugas, bagi orang yang masih awam dengan karya-karya beliau. Kita bisa tahu hal yang sebelumnya asing, karena pak Bakdi Soemanto menelaah karya-karya Sapardi Djoko Damono dengan cermat dan sistematis.
Kita bisa saja menemukan motivasi dan konotasi terpendam dalam puisi eyang Sapardi dari petunjuk dibalik kata-kata pak Bakdi Soemanto.
Tanpa koreksi dari orang lain, kita mudah mengabaikan hal yang subtil. Menyadari diri bahwa tidak sedang bermain sulap, lalu mendamba orang lain berdecak kagum. Tapi harus lebih banyak memberikan kesempatan untuk menerima kebenaran, dan membuka dialog. Agar aktivitas sederhana ini tak jadi monolog yang percuma. Sebab apresiasi bukalah sesuatu yang bisa dibawa mati.
Kematian memang menyudahi satu sesi perjalanan, tapi kadang kematian membuat  seseorang justru jadi abadi dan dikenang. Meskipun sekedar dalam bentuk ingatan. Kecuali jika orang mati tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Sekian...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H