Tapi apakah kita pernah sadar? Jika kita hari ini tidak sama sekali bangga dengan karya kita yang dulu, bahkan mengaggap beberapa dari itu sedikit mengecewakan, maka seharusnya hal yang sama mungkin sebaiknya berlaku pada apa yang menjadi karya kita hari ini.
Sebaik apapun kita menganggap pencapaian yang berhasil kita buat hari ini, akan menjadi suatu hal yang tak menakjubkan di kemudian hari. Karena kita memiliki prinsip bahwa setiap kali menulis, setiap kali pula kita belajar kembali.
Kebanggaan dan kepuasan yang kita rasakan saat menyelesaikan sesuatu, kadang menjadi euforia sesaat. Lama kelamaan akan jadi hal yang biasa saja. Tapi itu juga tak buruk untuk dinikmati, sebab hal demikian adalah fitrah yang manusiawi. Sebelum mungkin suatu hari akan disesali juga. Siapa yang tahu pasti?
Kata yang sudah beranak-pinak dan sering tidak jelas lagi asal-usulnya itu, dilisankan dan ditulis oleh kiai, pendeta, pengacara, rakyat, guru, ilmuwan, juru warta dan-tentu
Dan yang sangat mendesak adalah sabda telah dengan ganas kita tertibkan demi yang mahakuat untuk meneguhkan kelas, mimbar, dan segala jenis media, kekuasaan.
Di ruang kelas, mimbar, dan segala jenis media, kata menjadi sombong karena merasa telah menjelma lembaga yang mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan sempurna." (Sapardi Djoko Damono)
Kita sebaiknya terus belajar, sampai apa yang kita tinggalkan memiliki irama. Bukan sekedar coretan serampangan yang bagaikan nada sumbang, alih-alih menyenangkan, justru membuat orang lain jadi meremang.
Atau kita terlalu percaya diri, mengaggap sudah sekelas (misalnya) Picasso yang bisa dengan seenak hati, meminjam bahasa pak Bakdi Soemanto, menandatangani sebuah kain kotor, yang akan dianggap orang lain sebagai sebuah lukisan abstrak.
Banyak orang di dunia yang bisa mengelabui kita dengan penilaian palsu, bahwa kita adalah pakar. Tapi ternyata ada jauh lebih banyak yang mampu menyadarkan diri, bahwa kita bukanlah siapa-siapa.
Kita tak perlu mendemonstrasikan diri. Kita hanya perlu meneruskan eksistensi, dengan tetap menjadi diri sendiri dengan rendah hati. Kita tak perlu mengusik arti kehadiran kita dalam ketiadaan. Sebab segalanya adalah semata karunia Tuhan.
***