Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membedakan Mutawatir dan Ahad dalam Istilah Ilmu Hadis

8 Agustus 2020   05:33 Diperbarui: 9 Juni 2021   12:31 2934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam disiplin tentang ilmu hadis ada istilah mutawatir dan ahad. Ada juga istilah lain seperti shahih, hasan, dha'if, dan seterusnya. Dua kelompok istilah ini berbeda.

Secara sederhana, mutawatir dan ahad terkait dengan jumlah berapa orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Semakin banyak, semakin baik.

Berapa jumlah minimal orang agar suatu hadis bisa dikategorikan sebagai hadis yang mutawatir? Banyak versinya. Satu pendapat misalnya, ada yang mengatakan paling sedikit sepuluh orang.

Inti sebenarnya adalah bagaimana suatu hadis (entah itu sebatas esensi atau bahkan redaksi persisnya) adalah benar-benar bisa dipertanggungjawabkan adanya. Karena disaksikan dan diriwayatkan banyak orang. Entah bagaimana nantinya, bisa dengan metode periwayatan yang berbeda-beda.

Andaikata kita mendengar suatu berita, di suatu tempat ada pesawat jatuh misalnya, kita akan yakin saat berita yang sampai kepada kita tersebut melalui banyak orang. 

A mengatakan itu, B mengatakan itu, C juga. D memberitahu hal yang sama, E juga memberitakan kejadiannya. Rasanya sangat mustahil kalau ada berita dari orang sebanyak itu, dan semua orang kok kebetulan sekali sepakat untuk membohongi kita.

Baca juga: Sunnah atau Hadits dan Perannya dalam Islam

Terlepas dari apakah A (misalnya) merupakan orang yang bisa dipercaya atau tidak. Bukan itu tolok ukurnya. Kita tidak membahas itu. Lain lagi dengan klasifikasi golongan shahih, hasan, dan seterusnya. 

Kualitas setiap rawi sangat dipertimbangkan. Apakah orang tersebut kredibel atau tidak ('adil merupakan istilahnya. 'Adil disini bukan padanan kata adil dalam bahasa Indonesia. Beda istilah.)

Masalah mutawatir bukanlah pembahasan tentang ilmu sanad hadis (klasifikasi shahih hasan dsb) agar hadis itu bisa diamalkan atau tidak, berdasarkan kredibilitas perawi. Tapi pembahasan ilmu sanad hanya merupakan pembagian untuk yang ahad saja.

Sedangkan dalam bab mutawatir, kita tidak membahas siapa-siapa yang meriwayatkan hadis itu. Karena sudah qath'iyyus subut, jadi memang semua hadis yang mutawatir bisa diamalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun