Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Laut, Mengambil Pelajaran tentang Menjadi Diri Sendiri

1 Agustus 2020   05:12 Diperbarui: 1 Agustus 2020   05:39 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com › jewelhokie

Saat ingin belajar untuk teguh menjadi diri sendiri, maka seseorang bisa berkaca pada lautan. Melihat samudera dan merenung sejenak darinya, mengapa laut selalu bisa menjadi diri mereka sendiri.

Suatu hari saya membaca kembali kisah ini. Kisah laut dan beberapa anak manusia, yang pernah merasa dikecewakan, merasa diberi hadiah, dan banyak perasaan merasa yang lain. Padahal laut hanya sedang mencoba menjadi dirinya sendiri.

***

Syahdan, anak kecil bermain di bibir pantai. Berlari-lari tertawa gembira, mengaduk pasir dan menjadikan itu istana mainan. Dengan pangeran kepiting sebagai penghuninya. Tawanya yang lepas mendadak berganti muram saat ombak lautan membawa pergi sandal yang dipakainya.

Anak kecil itu berteriak lantang, mengatakan kalau laut adalah pencuri. "Kembalikan milikku..."

Tapi laut hanya sedang menjadi dirinya sendiri. Dia tetap menebar ombak seperti biasa. Tak menghentikan aktivitasnya hanya karena kata-kata seorang bocah.

Di sisi lain garis pantai, ada tangis pilu seorang ibu. Duka cita untuknya. Dia baru saja kehilangan seorang putra. Musibah hari itu adalah nestapa baginya. Si ibu meronta-ronta, tangis meledak, isak, dan juga lelehan air mata membuat iba orang-orang disekitarnya.

Dia menuduh laut adalah pembunuh. Laut sudah merenggut sang putra pergi selamanya. "Laut kejam, kembalikan buah hatiku..."

Dan seiring kesedihan yang berderai tanpa henti, orang-orang hanya bisa termenung menatap. Mereka sekedar berbagi perasaan, lalu mencoba menenangkan. Sekuat apapun kau menjerit, dia tak akan hidup lagi. Itu nasihat yang terucap. Dan seperti kata seseorang, hidup tak pernah sama lagi kemudian.

Tapi laut hanya sekedar menjalani peran. Dia cuma bertugas mengirim ombak ke bibir pantai seperti biasa. Lalu mendadak ada yang menuduhnya sebagai makhluk kejam. Katanya mematikan nyawa anak manusia. Namun, laut tak bergeming. Dia tetap mengirim ombak seperti biasa. Tak berhenti hanya karena hening cipta seorang ibu kepada anaknya.

Juga di seberang lain. Masih di tempat yang sama, hanya sekian lemparan batu. Seorang nelayan baru saja pulang. Kapalnya penuh akan muatan. Ikan-ikan segar yang siap dijual dan kiranya segera akan menghasilkan uang.

Bibir si kakek nelayan yang lelah itu nampak mengembang senyuman. Wajahnya sumringah bahagia. Tak terbayang kebahagiaan keluarga kecilnya yang menantikan oleh-oleh. Kehidupan di sebuah rumah ada harapan akan bersambung hari itu.

Si kakek yang kapalnya sampai ke dermaga dihantarkan ombak, tak henti-hentinya berterimakasih. "Laut yang baik dan begitu dermawan." Gumamnya.

Sambil berjalan dengan langkah tegap, bersama buih-buih putih dari kibasan ombak, dia meninggalkan pantai. Dengan penuh kebahagiaan.

Tapi laut diam saja. Apakah dia menerima ucapan terimakasih kakek nelayan itu? Orang mungkin tak pernah tahu, karena laut juga tak mau bercerita. Dia sekedar menjadi dirinya sendiri. Meskipun seribu kakek nelayan mengucapkan terimakasih, laut tetap memberikan ombaknya ke daratan. Dan tak ada yang berubah dari lautan, hanya karena kebahagiaan satu orang. Sebab laut sekedar menjalani peran.

Lalu di ujung daratan itu, dimana garis pantai berhenti. Seorang pemuda berjingkrak-jingkrak melompat girang. Tak ada kosakata untuk mewakili kegembiraannya. Mungkin dia orang yang paling nampak senang di seluruh pantai itu, pagi itu.

Pemuda itu baru pergi dari laut. Dia menemukan harta karun mutiara. Berkilauan dan indah tak bisa diungkapkan. Dia pamerkan kepada semua orang yang menyaksikannya. Sambil memproklamasikan diri, "aku kaya."

Orang tak peduli kisah pemuda itu menemukan mutiara. Orang hanya sekedar hanyut dalam euforia. Mereka mengerubungi pemuda itu, mencoba mengobati penasaran. Ingin tahu akan sebuah benda kecil berkilau, yang mungkin saja berharga sebuah rumah atau mobil.

Tapi yang pemuda itu bagikan kepada orang-orang hanya senyuman. Mutiara itu miliknya seorang. "Laut yang begitu kaya, terimakasih sudah berbagi sedikit pundi-pundi."

Tapi laut tak membalas kalimat pemuda itu. Dia tetap tak berubah, seperti saat pemuda itu belum kaya raya. Laut tetap seperti itu. Laut tetap melahirkan ombak seperti biasa.

Tak ada yang berganti, meskipun hari itu laut dituduh sebagai pencuri, pembunuh, pemberi, dan apapun itu. Laut tetap menebarkan ombak, tetap asin rasanya, tetap biru warnanya.

***

Apakah kita bisa menjadi seperti lautan? Yang tak pernah terpengaruh kata-kata manis, umpatan, atau makian. Tak peduli pada apapun yang diberikan manusia kepadanya, laut sekedar menjadi dirinya sendiri. Dia menjalani peran.

Laut tak pernah membalas keburukan apapun yang diberikan sungai kepadanya. Dia tak menjadi tawar hanya karena hujan tak memiliki rasa, dan muara tak asin sepertinya.

Dia tak pernah memilih warna selain biru, meskipun tiap harinya dibanjiri keruh. Meskipun manusia menodainya dengan aneka macam sampah yang mencoba mengikis segala sikap teguh. Meskipun mungkin dia begitu iri dengan semaraknya warna pelangi yang ramai bergemuruh. Meskipun manusia meminta hingga berpeluh-peluh, bahkan mungkin sampai dunia runtuh.

Dan laut tak pernah memaksa ikan yang tinggal disana menjadi asin, meskipun setiap hari mereka mandi dan bernafas hingga air laut sudah seolah menjadi seperti bagian dari sumsumnya.

Apakah yang lebih indah dari lautan?

***

27 Juli 2020 M.

***

Sekian. Selamat datang bulan Agustus. Selamat tinggal bulan Juli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun