Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Laut, Mengambil Pelajaran tentang Menjadi Diri Sendiri

1 Agustus 2020   05:12 Diperbarui: 1 Agustus 2020   05:39 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com › jewelhokie

Bibir si kakek nelayan yang lelah itu nampak mengembang senyuman. Wajahnya sumringah bahagia. Tak terbayang kebahagiaan keluarga kecilnya yang menantikan oleh-oleh. Kehidupan di sebuah rumah ada harapan akan bersambung hari itu.

Si kakek yang kapalnya sampai ke dermaga dihantarkan ombak, tak henti-hentinya berterimakasih. "Laut yang baik dan begitu dermawan." Gumamnya.

Sambil berjalan dengan langkah tegap, bersama buih-buih putih dari kibasan ombak, dia meninggalkan pantai. Dengan penuh kebahagiaan.

Tapi laut diam saja. Apakah dia menerima ucapan terimakasih kakek nelayan itu? Orang mungkin tak pernah tahu, karena laut juga tak mau bercerita. Dia sekedar menjadi dirinya sendiri. Meskipun seribu kakek nelayan mengucapkan terimakasih, laut tetap memberikan ombaknya ke daratan. Dan tak ada yang berubah dari lautan, hanya karena kebahagiaan satu orang. Sebab laut sekedar menjalani peran.

Lalu di ujung daratan itu, dimana garis pantai berhenti. Seorang pemuda berjingkrak-jingkrak melompat girang. Tak ada kosakata untuk mewakili kegembiraannya. Mungkin dia orang yang paling nampak senang di seluruh pantai itu, pagi itu.

Pemuda itu baru pergi dari laut. Dia menemukan harta karun mutiara. Berkilauan dan indah tak bisa diungkapkan. Dia pamerkan kepada semua orang yang menyaksikannya. Sambil memproklamasikan diri, "aku kaya."

Orang tak peduli kisah pemuda itu menemukan mutiara. Orang hanya sekedar hanyut dalam euforia. Mereka mengerubungi pemuda itu, mencoba mengobati penasaran. Ingin tahu akan sebuah benda kecil berkilau, yang mungkin saja berharga sebuah rumah atau mobil.

Tapi yang pemuda itu bagikan kepada orang-orang hanya senyuman. Mutiara itu miliknya seorang. "Laut yang begitu kaya, terimakasih sudah berbagi sedikit pundi-pundi."

Tapi laut tak membalas kalimat pemuda itu. Dia tetap tak berubah, seperti saat pemuda itu belum kaya raya. Laut tetap seperti itu. Laut tetap melahirkan ombak seperti biasa.

Tak ada yang berganti, meskipun hari itu laut dituduh sebagai pencuri, pembunuh, pemberi, dan apapun itu. Laut tetap menebarkan ombak, tetap asin rasanya, tetap biru warnanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun