Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "The Finest Hour"

8 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 8 Juni 2020   06:37 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: via fandango.com

______________

Banyak film yang diangkat dari . Salah satunya mungkin film ini. Film tentang penyelamatan kru sebuah kapal tanker. Kapal SS Pendleton di tahun 1952. Kapal tersebut merupakan jenis T2 Tanker, atau T2. Sebuah kelas tanker minyak yang dibangun dan diproduksi dalam jumlah besar di Amerika Serikat selama Perang Dunia II.

Berhubung saya bukan orang perkapalan, jadi saya gak tahu kapal tanker kelas T2 itu sebesar apa kalau dibandingkan dengan kapal tanker modern. Soalnya setahu saya ini kapal jenis lama yang digunakan untuk keperluan mengangkut minyak sebagai bahan bakar, selama peperangan berlangsung. Dan hingga beberapa tahun kemudian saat masa damai, kapal jenis ini masih digunakan.

***

Film garapan Disney ini berdasarkan buku "The Finest Hours: The True Story of the U.S. Coast Guard's Most Daring Sea Rescue" tulisan Michael J. Tougias dan Casey Sherman. 

Kisah ini berawal pada bulan Februari 1952. Ketika itu, ada badai northeaster yang menyerang kota-kota di sepanjang garis Pantai Timur, New England. Dan kebetulan ada dua kapal tangker minyak, SS Fort Mercer dan SS Pendleton yang sedang berada di tengah laut.

Kedua kapal tersebut juga secara kebetulan patah jadi dua dihantam ganasnya badai. Sebuah "kebetulan" yang bagi saya amat langka.

Ada tapi tiga Stasiun Patroli Laut di wilayah tersebut sebenarnya. Stasiun Chatham, Stasiun Boston, dan Nantucket.

Mendengar kabar SS. Fort Mercer patah jadi dua dan kru membutuhkan pertolongan, stasiun Stasiun Boston, dan Nantucket mengirimkan kapal untuk menyelamatkan kru SS. Fort Mercer.

Lalu bagaimana dengan SS. Pandleton? Dalam film digambarkan, kapal tersebut lebih malang nasibnya, karena hampir saja tak tertolong, andaikan saja gak ada seorang penduduk yang secara tak sengaja mendengar bunyi raungan "klakson" kapal tersebut terus menerus. Dengan cara itulah kru kapal minta tolong karena radio mereka yang tidak bisa diajak kompromi.

Dalam film, SS. Pandleton digambarkan memiliki sedikit keretakan pada lambung kapal.

Meski katanya perbaikan yang dilakukan tak bisa sempurna, kapal tersebut tetap mendapat cap laik jalan pada Januari 1952, atau sekitar kurang dari satu bulan sebelum terjadinya kecelakaan tersebut.

Pada awalnya, para kru di bagian ekor kapal tak menyadari jika kapal telah terbelah menjadi dua akibat dihajar badai yang luar biasa ganas.

Mereka baru sadar, setelah awak kapal bernama Chris Bridges diminta naik menemui kapten di anjungan kapal. Awak tersebut tersentak dan kaget, begitu tahu kalau kapal yang dia tumpangi sudah terbelah.

Dia tertegun, sebab jika beberapa langkah lagi dia tetap berjalan, dia akan terjun bebas ke laut. Dengan takjub mungkin, dia memandang kalau didepannya bagian depan kapal sedang terombang-ambing dan menjelang karam.

Nasib sang kapten, John J. Fitzgerald beserta tujuh kelasi  yang berada di bagian anjungan dan geladak "bisa dipastikan" tak tertolong. Mereka tenggelam ditelan badai bersama separuh bagian kapal lain.

Kepala bagian mesin Raymond L. Sybert (Casey Affleck) mengambil alih peran sebagai kapten dari separuh kapal yang tersisa. Dia menggunakan "cara tradisional" untuk mengendalikan kapal tersebut.

Kru yang tersisa tidak diperbolehkan meninggalkan kapal dengan perahu penyelamat karena badai luar biasa ganas. Perahu penyelamat dari kapal tanker tersebut kemungkinan besar tak akan bisa bertahan di tengah laut. Maka, mereka memilih menunggu pertolongan dari kapal penyelamat.

***

Menindaklanjuti laporan tersebut, patroli laut dari Chatham harus berusaha sendirian menyelamatkan kru kapal SS. Pandleton tanpa bantuan dua stasiun lainnya. Ini, sesuai dengan kenyataan di tahun 1952.

Dan Bernie Webber (Chris Pine), yang kala itu diceritakan masih berusia 24 tahun, harus berjuang menemukan kapal tanker itu, dengan kapal penyelamat yang sangat kecil. Ditemani sukarelawan lain yang "kurang berpengalaman".

Bernie harus menerima perintah dari Daniel Cluff (Eric Bana), atasannya untuk menyelamatkan awak kapal tanker Pendleton yang membutuhkan bantuan, karena badai yang sangat parah.

Untuk dapat menuju lokasi kapal tanker SS. Pandleton, yang bahkan lokasinya "tidak diketahui" dengan pasti, Bernie Webber dan kawan-kawan menggunakan motor lifeboat jenis CG 36500.

Sebetulnya, perahu tersebut hanya dapat menampung 16 orang, namun Bernie berhasil menyelamatkan 32 orang. 

Misi tersebut awalnya disangka sebagai "misi bunuh diri", karena kalau melihat kesempatan untuk berhasil, sangat kecil. Tapi dengan keberuntungan Bernie berhasil menyukseskan misi penyelamatan tersebut. Kisahnya menjadi headline berita di mana-mana.

Kisah tersebut dianggap sebagai salah satu penyelamatan paling heroik di dalam sejarah Coast Guard Amerika Serikat.

Bagaimana tidak? Tim penyelamat yang menyadari bahwa kapal kecil mereka sebenarnya tidak mampu menampung 32 awak kapal SS Peddleton, tetap setuju untuk menghadapi nasib apa pun secara bersama.

Seperti yang disampaikan dalam film, "we would all live, or we would all die". Hidup atau mati, akan mereka jalani bersama.

Ditambah lagi, dalam perjalanan menuju SS. Pandleton, tim penyelamat kehilangan kompas mereka. Kehilangan kompas ditengah badai, berarti juga "kehilangan arah". Tapi keberuntungan sedang memihak, hingga entahlah kebetulan mereka bisa menemukan kapal tanker tersebut. Sebuah keajaiban...

***

Bagaimanapun juga, menurut saya The Finest Hour mampu menghadirkan visual yang dapat membuat penonton percaya akan kedigdayaan kekuatan alam. Kita bisa dibuat berdecak kagum, akan kehebatan sebuah badai yang mampu membelah kapal tanker raksasa menjadi dua.

Ini mengingatkan saya kepada film The Perfect Storm. Yang sama-sama menyajikan kedahsyatan badai. Gejala alam yang mampu membuat manusia yang kadang angkuh akhirnya merasa kecil dan tak berdaya.

Jika anda sedang membutuhkan film menginspirasi tentang tema heroisme, kisah gagah berani penyelamatan "orang asing" demi kemanusiaan, maka film ini setidaknya layak masuk "wishlist".

Tapi karena ini bukan film dokumenter, tentunya ada saja hal yang didramatisir dalam film ini. Sebuah kisah nyata kadang "tak selamanya" memiliki bumbu yang dibutuhkan sebagai tontonan yang benar-benar seru dan menarik. Kisah nyata tidak selamanya memiliki plot twist. Dan kisah nyata tak selamanya memiliki aroma yang sesuai dengan selera penonton.

Maka adanya pemanis, seperti romantisme kisah Bernie Webber dan Miriam Penttinen dalam film adalah hal yang bagi sutradara mungkin harus disematkan sebagai tambahan.

Dalam kehidupan nyata, mereka katanya sudah menikah selama sekitar 1,5 tahun. Jadi, sebagian besar kisah Miriam dalam film ini tentunya adalah rekayasa.

***

Sekian...

***

6 Juni 2020 M.

okezone.com
wikipedia.org
jurnalmaritim.com
washingtonpost.com
liputan6.com

Terimakasih sudah membaca...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun