Untuk dapat menuju lokasi kapal tanker SS. Pandleton, yang bahkan lokasinya "tidak diketahui" dengan pasti, Bernie Webber dan kawan-kawan menggunakan motor lifeboat jenis CG 36500.
Sebetulnya, perahu tersebut hanya dapat menampung 16 orang, namun Bernie berhasil menyelamatkan 32 orang.Â
Misi tersebut awalnya disangka sebagai "misi bunuh diri", karena kalau melihat kesempatan untuk berhasil, sangat kecil. Tapi dengan keberuntungan Bernie berhasil menyukseskan misi penyelamatan tersebut. Kisahnya menjadi headline berita di mana-mana.
Kisah tersebut dianggap sebagai salah satu penyelamatan paling heroik di dalam sejarah Coast Guard Amerika Serikat.
Bagaimana tidak? Tim penyelamat yang menyadari bahwa kapal kecil mereka sebenarnya tidak mampu menampung 32 awak kapal SS Peddleton, tetap setuju untuk menghadapi nasib apa pun secara bersama.
Seperti yang disampaikan dalam film, "we would all live, or we would all die". Hidup atau mati, akan mereka jalani bersama.
Ditambah lagi, dalam perjalanan menuju SS. Pandleton, tim penyelamat kehilangan kompas mereka. Kehilangan kompas ditengah badai, berarti juga "kehilangan arah". Tapi keberuntungan sedang memihak, hingga entahlah kebetulan mereka bisa menemukan kapal tanker tersebut. Sebuah keajaiban...
***
Bagaimanapun juga, menurut saya The Finest Hour mampu menghadirkan visual yang dapat membuat penonton percaya akan kedigdayaan kekuatan alam. Kita bisa dibuat berdecak kagum, akan kehebatan sebuah badai yang mampu membelah kapal tanker raksasa menjadi dua.
Ini mengingatkan saya kepada film The Perfect Storm. Yang sama-sama menyajikan kedahsyatan badai. Gejala alam yang mampu membuat manusia yang kadang angkuh akhirnya merasa kecil dan tak berdaya.
Jika anda sedang membutuhkan film menginspirasi tentang tema heroisme, kisah gagah berani penyelamatan "orang asing" demi kemanusiaan, maka film ini setidaknya layak masuk "wishlist".