CATATAN TENTANG FILM EVEREST (2015)
_________
"I'm climbing Mount Everest... because I can... Because to be able to climb that high and see that kind of beauty that nobody ever sees, it'd be a crime not to."
(Doug Hansen)
***
Sebenarnya sudah lama sekali nonton film ini. Bertahun-tahun silam pas curi-curi waktu senggang. Senang sekali rasanya dengan tema-tema tentang "Everest". Gunung tertinggi di dunia itu. Atap dunia. Seakan "wah" sekali...
Padahal Everest adalah tempat yang gak aman. Tapi masih ada saja orang yang ingin pergi ke sana. Tingginya saja hampir sembilan kilometer. Padahal setahu saya, pesawat kecil-kecil aja kalau sembarangan terbang di ketinggian segitu bisa mengalami kegagalan mesin. Lah, manusia mah apaan?
Dan ini salah satu film survival yang keren menurut saya, selain The Revenant. 127 Hours, atau mungkin In The Heart of The Sea.
Dan semuanya terinspirasi atau diangkat dari kisah nyata. The Revenant terinspirasi dari kisah menakjubkan seorang pedagang burung, pemburu, dan penjelajah Amerika bernama Hugh Glass, yang bisa selamat dari serangan seekor beruang grizzly. Padahal dia katanya sudah "sekarat" dan seolah gak ada harapan hidup lagi.
Sedangkan Everest diangkat dari kisah nyata ekspedisi pendakian "tour guide" Adventure Consultant tahun 1996. Adventure Consultant sendiri adalah pemandu yang sudah profesional. Sudah biasa naik turun gunung Everest.
Ini adalah kisah Rob Hall, sebagai punggawa, atau leader Adventure Consultant yang menuntun beberapa pendaki "amatir" mencapai atap dunia.
Ada Beck Weathers, orang kaya tajir melintir, Doug Hansen, seorang tukang pos yang beberapa kali mencoba naik ke Everest, namun selalu gagal sampai ke puncak, John Krakauer, seorang jurnalis majalah Outside, dan Yasuko Namba, pendaki wanita asal Jepang yang bermaksud menjadikan Everest sebagai puncak ketujuh yang ditaklukkannya.
Kalau anda pernah nonton film 5 CM yang diangkat dari novel Donny Dhirgantoro itu, Maka Everest katanya diangkat dari buku Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster.
Buku tersebut sendiri adalah tulisan John Krakauer. Jurnalis yang turut serta dalam ekspedisi Adventure Consultant tadi.
Selain katanya juga menggunakan perspektif lain, lewat buku Left for Death karya Beck Weathers itu sendiri, dan ditambah kesaksian beberapa orang juga, agar makin menambah akurasi cerita.
Dan kalau 5 CM adalah kisah tentang persahabatan dan kebahagiaan, maka Everest adalah kisah tragis. Yang berlatar belakang tragedi 10-11 Mei 1996. Badai salju hebat yang merenggut nyawa banyak pendaki Everest hari itu. Tidak hanya dari tim Adventure Consultant saja.
Tapi kita gak perlu mempersalahkan siapapun dalam tragedi pendakian Mei 1996 tersebut. Semua sudah berlalu. Kita hanya perlu mengambil pelajaran, agar kejadian serupa tak kembali terulang.
***
Film Everest membawa kita melihat keindahan. Kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang menakjubkan di sepanjang awal film.
Sebelum sampai ke Everest Basecamp, pemandangan memang indah. Tapi setelah melewati itu, akan banyak salju putih sepanjang mata memandang. Namun bagi saya, pemandangan seperti itu tetaplah indah.
Ibarat kita pergi ke pantai, kita akan dimanjakan dengan ombak. Tapi saat sampai ke tengah laut, dimana-mana hanya ada ombak. Warna biru dimana-mana. Dan di mata saya, itu masih tetap menawan.
Kisah Everest adalah kisah tentang tanggung jawab dan profesionalitas. Rob Hall tidak hanya dibayar untuk membawa pendaki ke puncak. Tapi dia juga harus bertanggung jawab penuh untuk membawa mereka pulang kembali dengan selamat.
Jadi, Rob Hall sedang mempertaruhkan nyawa.
Perjalanan berangkat adalah perjalanan yang menantang. Aklimatisasi, dan melawan penyakit ketinggian. Belum lagi, banyak masalah lain. Menghadapi keganasan cuaca. Dan bertahan dibawah tekanan suhu normal. Oksigen di Everest lebih berarti dari uang yang dimiliki siapapun. Jadi, mendaki gunung gak sesederhana seperti yang banyak orang bayangkan.
Harus berburu dengan waktu. Bangun jam dua pagi dan mulai mendaki. Atau tidak sama sekali.
Yah... Manusia gak mungkin bermalam di puncak Everest bukan? Berlama-lama di atas puncak adalah "bunuh diri". Sebab perjalanan turun juga harus dipertimbangkan. Oksigen harus dipertimbangkan. Keselamatan harus dipertimbangkan.
Sebab kadang, perjalanan pulang, jauh lebih berat daripada saat kita berangkat.
Film Everest menyadarkan kita, bahwa betapa tak berdaya seorang manusia di alam lepas. Keangkuhan seakan sirna begitu saja. Sehebat apapun manusia, dia umpama remah-remah saat diterpa gejala alam.
Alam seakan memaksa memberikan pilihan kejam, antara bertahan dan terus berjuang mencapai puncak dengan mempertaruhkan nyawa, atau justru harus pulang dengan penuh kecewa.
Seperti apa kisahnya? Hmmm. Anda mungkin harus nonton sendiri. Sebab saya takut dikira ngasih spoiler... 😁
***
Terimakasih...
***
31 Mei 2020 M.
________________
Referensi:
Terimakasih sudah membaca...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI