Saya terkesan dengan salah satu tulisan mas Wiwien Wintarto. Seorang penulis senior Gramedia yang saya ikuti di Quora. Benar sekali kata mas Wiwien. Orang tekun akan mengalahkan orang berbakat dan bertalenta sekalipun.
Sikap konsisten dan kegigihan adalah kunci. Tidak cukup rasanya hidup jika hanya mengandalkan kepandaian dan prestasi atau sekedar bakat. Tapi dalam hidup juga butuh sikap pantang menyerah. Butuh konsistensi. Seperti konsistensi yang dicontohkan oleh guru saya di Lirboyo. Almaghfurlah KH. Abdul Karim.
"Konsep rajin sudah mencakup segala pengertian soal perjuangan dan kerja keras, sedang bakat barulah 10% dari keseluruhan kerja keras itu. Setelah ada bakat, masih harus ada tekad, ketekunan, perjuangan, sifat pantang menyerah, kemauan mengoreksi diri, dan kemampuan belajar dari pengalaman.
Orang rajin tetap bisa berbuat banyak meski tanpa bakat. Sementara banyak orang berbakat menyia-nyiakan bakatnya karena dianggurin gitu aja dan tidak dilanjutkan dalam bentuk kerja keras (yang butuh sifat rajin untuk bisa mengeksekusinya dengan sebaik mungkin)."
Senada dengan mas Wiwien, mbak Inggriani Liem, juga pernah nulis hal yang intinya hampir sama. Beliau adalah pembina Tim Olimpiade Komputer Indonesia (TOKI), dan Ketua Bebras Indonesia NBO.
"Bakat itu baru potensi. Jadi kalau seseorang berbakat dan ia rajin belajar, mengasah serta mempraktekkannya maka akan bermakna dan menjadi keahlian yang berguna.
Bakat saja tidak cukup karena bakat itu ibarat benih yang memerlukan tanah, media atau lingkungan dan juga pemeliharanya, yang akan membuat benih tumbuh dan berbuah secara maksimal."
***
Kita tahu kedisiplinan itu penting. Salah satu kunci kesuksesan katanya adalah konsistensi. Keuletan dan sikap pantang menyerah.
Melatih kedisiplinan bisa dilakukan dengan banyak hal. Salah satunya belajar dari teori di buku-buku psikologi bergenre self helping. Buku-buku motivasi semacam itu banyak. Salah satu buku yang terkenal katanya berjudul The Power of Habit. Atau judul lain seperti Atomic Habits.
Dan izinkan saya merangkum sedikit. Saya gak merangkum dari buku tersebut. Bukunya belum saya baca. Saya cuma menulis kembali apa yang pernah saya tahu. Semoga bisa jadi pengingat buat diri saya sendiri.Â
***
Jadi, untuk membentuk kedisiplinan, bisa dilakukan dengan beberapa hal.
Pertama adalah determinasi, atau setahu saya adalah ada kepastian, ada kemantapan. Keyakinan. Semangat dan himmah.
Ada kalimat menarik seperti ini, ingatlah Hukum Hofstadter.
"Segala sesuatu akan selalu membutuhkan waktu lebih lama bahkan setelah anda memperhitungkan Hukum Hofstadter."
(Hukum Hofstadter)
Loh, apa hubungannya dengan poin pertama? Hehehe...
***
Kedua adalah pembiasaan. Ada sih trik dengan pemaksaan dan pembuatan jadwal atau target. Tapi saya gak merasa cocok dengan trik semacam itu. Saya bukan anak kecil lagi yang kalau ngapa-ngapain mesti disuruh-suruh. Yang penting bagi saya adalah kesadaran pribadi saja. Kalau hal positif yang kita lakukan itu penting, mengapa kita gak mencoba untuk melakukan itu jika mampu?
Katanya otak manusia lebih mau belajar atau membiasakan sesuatu ketika pelajaran atau kebiasaan tersebut memiliki kegunaan bagi orang tersebut. Ya, kalau sesuatu kita lihat ada manfaatnya buat diri kita, biasanya kita lebih semangat untuk melakukan hal itu terus menerus. Maka pandai-pandai melihat celah akan adanya manfaat, meskipun sangat-sangat kecil.
Ngaji online, toh biarpun gak ada yang nonton barangkali suatu hari nanti berguna. Walaupun untuk satu orang. Setidaknya satu itu juga angka, walaupun kecil. Walaupun yang ikut nimbrung cuma mendengarkan satu menit, toh mendengar ilmu satu menit juga insyaallah ada pahalanya. Sebab ngaji itu gak melulu masalah ilmu, tapi juga terkait berkah.
Direkampun ngaji, gak direkam juga ngaji. Apa salahnya direkam? Hitung-hitung syiar Islam juga. Toh juga pakai kuota unlimited. Hehehe... Ditambah lagi, siapa tahu ini bisa jadi amaliah yang mendatangkan ridho Allah SWT. Sebab amaliah meskipun kecil gak boleh diremehkan.
Dan motivasi lain seterusnya...
Bagaimana kita bisa pandai-pandai melihat manfaat, meskipun saking kecilnya hanya sebesar benang jarum. Wong kalau dawuh guru saya, bab isti'nas dalam kitab itu setiap masalah ibadah dalam agama pastinya ada. Setiap kebaikan apapun itu, pasti ada motivasi akan pahala besar dan ada penyemangatnya. Ada pengayem-ayemnya. Tinggal tahu dalilnya apa tidak.
Ngaji online itu contoh kasus sangat random yang tiba-tiba terlintas di pikiran saya. Saya gak tahu aktivitas positif anda apa. Jadi, sesuaikan contoh sendiri yang pas dengan hidup anda. Apa satu hal kecil yang ingin anda ubah dalam hidup anda? Membiasakan baca buku, membiasakan berhenti merokok, atau apalah. Terserah. Gak usah yang terlalu besar, cukup berawal dari hal kecil dulu. Yang penting ada nilai positif. Atau setidaknya ada manfaatnya buat hidup kita.
Yah, entahlah dengan bagaimana kita bisa mengambil sikap proaktif dan pandai memanipulasi alam bawah sadar terhadap hal itu.
Ini adalah trik yang sangat terkenal. Namanya  21/90 Rules. Walaupun gak bisa sukses untuk semua orang. Setidaknya mau mencoba itu adalah baik.
 21/90 Rules adalah bahwa setiap perubahan dalam hal apapun itu terjadi karena repetisi yang dilakukan. Pengulangan terus menerus. Hingga membentuk suatu karakter.
Aturan 21/90 ini menjelaskan pada 21 hari pertama kita akan menjadikan aktivitas yang kita lakukan menjadi sebuah kebiasaan.Â
Contohnya adalah berolahraga, membaca buku, bangun lebih pagi, menulis, ngaji, bersosialisasi, bahkan berhenti merokok, atau berhenti main medsos, dan lainnya. Kita bisa memilih satu hal dari aktivitas itu untuk dilakukan konsisten selama 21 hari. Hanya dua puluh satu hari. Gak lama.
Jika 21 hari tadi telah kita jalani, dan berhasil, maka kedepannya akan menjadi lebih mudah.
Setelah konsisten dilakukan selama 21 hari dan menjadi kebiasaan, maka tahap selanjutnya adalah mengubah kebiasaan itu menjadi sebuah gaya hidup. Atau karakter. Dengan terus melakukan aktivitas tadi secara kontinyu hingga 90 hari.
Yah... Selanjutnya pada 90 hari sejak kita melakukan aktivitas kecil itu, dengan sendirinya aktivitas tersebut akan menjadi sebuah gaya hidup. Yang mana, tatkala kita tidak melakukan aktivitas itu sekali saja, atau gak sengaja melewatkannya, akan merasa sangat kacau. Merasa bersalah. Merasa menyesal. Dan banyak perasaan gak enak lain.
Tiba-tiba sudah bisa berhenti merokok. Tiba-tiba sudah bisa puasa medsos. Tiba-tiba sudah bisa puasa berita. Tiba-tiba sudah bisa bangun pagi terus. Tiba-tiba kalau sehari saja gak baca buku rasanya bersalah. Sehari gak baca Alquran kok gimana gitu... Ada yang kurang rasanya.
Mau coba? Butuh kegigihan.
***
Ketiga adalah motivasi. Milikilah insipirasi.
Kisah Imam Ibnu Jarir amat luar biasa bagi saya. Beliau adalah ulama salaf yang sangat produktif menulis. Saya gak pernah mendengar kisah ulama salaf lain yang demikian hebatnya seperti beliau. Itu salah saya sendiri, karena ketidak tahuan saya yang kurang membaca. Saya yakin masih banyak kisah hebat dan luar biasa lain.
Hingga saat terakhir, beliau tetap menulis. Kisahnya demikian, dulu menjelang Imam Ibnu Jarir At-Thabari wafat. Tatkala Syaikh Ja'far bin Muhammad membacakan doa untuk beliau, beliau justru meminta tempat tinta dan secarik kertas. Kemudian beliau menulis.
Seseorang bertanya kepada beliau, "Kenapa Anda masih sempat menulis dalam kondisi seperti ini?"
Beliau menjawab, "Hendaknya orang itu harus tetap belajar sampai meninggal dunia."
Kalau Qadhi Abu Yusuf tetap membahas fikih hingga saat terakhir, maka Imam Ibnu Jarir tetap menulis hingga saat terakhir. Karena menulis itu juga adalah bagian dari proses belajar. Itu yang saya tangkap.
Saya juga mendapat kisah dibawah ini dari KH. Husein Muhammad.
Suatu hari, imam Ibnu Jarir dawuh kepada para santrinya, "apakah kalian sanggup dan bersemangat menuliskan tafsir Alquran?"
Mereka menjawab, "Kira-kira akan berapa lembar?"
"Ya sekitar tiga puluh ribu lembar", jawab imam Ibnu Jarir. (Subhanallah, semoga bisa meneladani himmah beliau yang luar biasa.)
Mereka keberatan, "Wah, ini akan menghabiskan umur kami, bahkan mungkin sebelum kitab ini selesai ditulis."
"Kalau begitu aku akan ringkas menjadi tiga ribu lembar saja", dawuh imam Ibnu Jarir. Lalu beliau mendiktekan tafsir tersebut setiap hari, hingga 7 tahun. Yaitu dari tahun 283 hingga tahun 290 H. Mungkin itulah sejarah penulisan kitab Tafsir Imam Ibnu Jarir yang kita kenal hari ini.
Selain tafsir, seingat saya beliau juga memiliki kitab sejarah. Dikisahkan, beliau menanyakan kepada para santrinya pertanyaan yang hampir sama, "Apakah kalian sanggup menuliskan sejarah dunia sejak Nabi Adam sampai hari ini?"
Santri beliau menjawab dengan jawaban yang kurang lebih sama dengan saat penulisan tafsir. Imam Ibnu Jarir kurang lebih dawuh, "Innalillah, semangat kalian masih rendah. Jika begitu aku akan mendiktekannya kepada kalian seperti ketika kalian menulis tafsir, tiga ribu halaman".
Dan Kitab "Tarikh al-Umam wa al-Muluk" itu selesai tahun 303 H.
Seorang sahabat imam Ibnu Jarir konon bercerita, bahwa beliau mengumpulkan karya-karya tulis Imam Ibnu Jarir al-Thabari. Lalu menghitung sambil mengkonversikannya dengan usia beliau yang delapan puluh tahun. Maka ditemukan bahwa imam Ibnu Jarir setiap hari menghasilkan tulisan 14 halaman.
Ada yang mengatakan bahwa Imam Ibnu Jarir memiliki waktu yang dikhususkan untuk menulis kitab, yaitu antara zuhur dan asar.
Imam Ibnu Jarir dikisahkan senantiasa konsisten dan istiqomah melakukan aktivitas tersebut hingga empat puluh tahun. Dalam riwayat ini, beliau perharinya menulis hingga empat puluh lembar. Bukan empat belas.
Yang berarti jika dikalkulasikan, tulisan beliau bisa mencapai lebih dari delapan puluh ribu lembar. Atau bahkan bisa ratusan ribu lembar. Saya yakin karya beliau yang dicetak saat ini hanya sebagian kecil. Sebab masih banyak tentunya manuskrip beliau yang belum ditemukan.
Kisah semacam ini menurut saya masuk bab karomah. Beliau diberi keberkahan waktu. Selain diberi anugerah himmah yang luar biasa. Istiqomah yang luar biasa. Hal seperti ini gak perlu dipertanyakan bagaimana kok bisa. Sebab belum ada penjelasan ilmiahnya. Percayalah itu terjadi, sebab kenyataannya memang demikian.
Ada yang ulama yang mampu menghkatamkam Alquran dalam waktu sekian jam. Menghkatamkam Alquran sehari dua kali. Atau bahkan lebih. Itu bab karomah. Kisah semacam itu banyak, seperti dalam kitab Jami' Karamat Aulia. Kitab komperhensif yang menulis kisah-kisah ajaib.
Dunia terlalu luas, sedangkan akal manusia terlalu sempit jikalau semua harus ada penjelasannya.
Imam Ghazali, setelah tidak mengajar di Universitas Nidzamiyyah beliau tetap menulis. Konsisten dan istiqomah.
Banyak tokoh yang saya kagumi karena kekonsistenannya. Pak Dahlan Iskan, meskipun sudah pensiun dari Jawa Pos, tetap konsisten menulis setiap hari sekali.
Mas Goenawan Mohamad, meskipun sudah gak jadi pimred majalah Tempo, masih tetap menulis rubrik catatan pinggir setiap minggu sekali. Dan belum pernah libur sejak Tempo berdiri puluhan tahun silam. Libur hanya pas Tempo beberapa saat dilarang terbit oleh pemerintah. Catatan pinggir mas Goenawan Mohamad adalah salah satu rubrik terpanjang yang paling konsisten di seluruh dunia dan hanya diampu oleh satu orang, kata pak Hamid Basyaib seingat saya.
Kisah semacam itu menginspirasi dan menambah semangat kita. Belajar untuk konsisten dengan meneladani kisah tersebut. Kemudian menjadikannya sebagai motivasi di awal-awal.
Setelah bisa konsisten, niatnya harus terus menerus diperbaiki. Biasanya kalau di awal-awal itu tujuannya aneh-aneh. Kalau menurut saya gak masalah, yang penting bisa merubah diri sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya bisa jadi orang yang benar-benar ikhlas melakukan sesuatu.
Manusia biasa mana yang mampu langsung jadi baik sekaligus. Langsung bisa meniru nabi Muhammad Saw dalam satu hari. Atau bisa dalam sekian jam. Anda luar biasa jika mampu mengubah diri dalam sekejap. Ya butuh proses lama. Pembelajaran yang sampai jatuh bangun. Terus menerus belajar dari pengalaman dan kesalahan.
Kuncinya menurut saya adalah konsistensi, dan motivasi untuk tidak akan menyerah sebelum benar-benar kalah. Tak akan pasrah, sebelum mati berkalang tanah. Atau hancur berkeping-keping jadi puing dan remah-remah. Hehehe... Apaan sih?
***
Satu trik psikologi untuk meringankan beban, adalah dengan memecahkan kerjaan yang nampak besar, menjadi kerjaan-kerjaan kecil.
Jangan pernah bilang anda akan menulis sebuah buku setebal seribu halaman. Tapi katakan pada diri anda bahwa saya akan menulis satu lembar setiap hari.
Gak usah bilang mau berhenti merokok. Cukup bilang hari ini saya akan mengurangi rokok saya satu batang lebih sedikit dibandingkan kemarin.
Jangan katakan saya ingin menghkatamkam  baca buku berjilid-jilid misalnya. Tapi cukuplah bilang setiap jam enam pagi saya ingin membaca sekian lembar. Dan libur setiap hari Jumat.
Jangan katakan setiap hari mau menulis. Cukup bilang, kalau ada waktu saya akan menulis.
Saya selalu menganut prinsip agar jangan sampai menjadikan aktivitas kita, apapun itu, jadi sebuah beban. Ada sejuta alasan untuk membuat hal baik itu menjadi menyenangkan untuk dilakukan.
Agar akhirnya tidak ada rasa terpaksa sedikitpun. Sebab jika sudah terpaksa, biasanya justru berujung pada berkurangnya manfaat. Atau bahkan gak ada manfaatnya sama sekali. Sebisa mungkin jangan menimbulkan masalah baru. Dan jangan buang-buang waktu.
Tapi sebenarnya kita sudah bukan anak kecil lagi. Sudah gak butuh trik psikologi macam-macam. Jantung sebuah aktifitas adalah esensinya. Menjadikan itu bernilai. Bukan sekedar mau melakukan sesuatu saja.Â
Orang dewasa sudah bukan waktunya untuk sekedar bercita-cita atau cuma bermimpi akan hal besar saja. Sudah waktunya berpikir lebih dinamis dan realistis. Kemudian diwujudkan dengan sebuah tindakan dan kontribusi.
Melakukan apa yang paling mungkin dilakukan. Walaupun sangat kecil. Karena ya memang hal kecil itulah hal yang paling bisa dilakukan. Jatahnya disitu. Itu kan termasuk bagian dari menyadari maqom ubudiyah yang lemah. Daripada berangan-angan tinggi tapi gak ngapa-ngapain.
***
Trik psikologi lain, adalah berhentilah memikirkan apa yang akan kita lakukan nanti. Nanti mau ngapain, jam sekian harus ngapain. Malah gak bisa menikmati. Pokok lakukan saja tanpa harus dipikirkan. Jalani saja. Memikirkan aktifitas hanya menambah beban yang gak perlu.
Lucu juga kalau dipikir-pikir, kadang orang justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk cemas dan khawatir akan aktivitas yang akan dilakukan. Lebih membesar-besarkan bahwa seolah aktivitas tersebut begitu beratnya. Dan setiap saat akan semakin menjadi berat karena semakin dipikirkan.
Orang dewasa tidak perlu mengeluh dan menularkan kecemasan kepada orang di sekitarnya. Ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran itu bisa menular. Seperti halnya kebahagiaan dan semangat. Keduanya bisa menular.
***
Terakhir, saya ingin mengutip kalimat ini. Dawuhnya KH. Afifuddin Dimyathi.
"Buku ratusan halaman dimulai dari satu halaman, buku ribuan kata dimulai dari satu kata, buku jutaan huruf dimulai dari satu huruf. Selesaikan satu itu, maka puluhan buku akan kita tuntaskan. Satu hal yang harus kita sadari adalah, semua karya itu bermula dari satu huruf pertama".
Dawuhnya Syaikh Bahaauddin ibn an-Nahhas al-Halaby an-Nahwi: Â
"Sedikit tambah sedikit akan jadi banyak, banjir pun sebenarnya adalah kumpulan tetes air".
Segala sesuatu yang besar, dimulai dari hal kecil yang bisa konsisten.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi saya sendiri.
Wallahu a'lam.
03 Mei 2020 M. 10 Mei 2020 M.
***
Saya cuma orang yang mencatat kembali dan mengumpulkan banyak keterangan berharga.
Terimakasih untuk tulisan dibawah ini:
Tulisan KH. Afifuddin Dimyathi
Tulisan KH. Husein Muhammad
Tulisan Kiai Muhammad Masruhan
Tulisan pak Hamid Basyaib di pengantar buku Catatan Pinggir 12.
Tulisan mas Dre Samosir
Tulisan mas Wiwien Wintarto
Tulisan mbak Inggriani Liem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H