Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bagaimana Salah Satu Teknik Menulis Terbaik Bagi Pemula yang Ingin Konsisten?

9 Mei 2020   05:40 Diperbarui: 9 Mei 2020   05:37 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CATATAN TENTANG TEKNIK FREE WRITTING DAN PROSES KREATIF

Saya pertama kali mendengar teknik menulis free writting dari mas Wiwien Wintarto. Saya bahkan gak tahu sebelumnya ada teknik seperti itu. Ada konsep semacam itu.

Free writting sepaham saya adalah teknik menjadi penulis lepas yang gak terikat apapun. Gak bekerja buat siapapun. Gak menulis untuk siapapun. Yah, mereka pada awalnya menulis buat diri sendiri. Dalam rangka mengasah kemampuan dan bakat. Toh jika nantinya ada yang mau baca ya terserah, tidak pun bakat diri sendiri akhirnya akan terasah. Jadi, teknik seperti ini menguntungkan dan paling mudah dipraktekkan bagi pemula. Seperti saya.

Sebab saya gak pernah punya cita-cita nulis novel atau buku. Buku karya ilmiah saya dulu sempat "gagal" saya selesaikan karena saya belum ada rejeki menyelesaikan itu. Teman-teman yang merampungkannya. Padahal saya sudah berharap bisa meninggalkan karya untuk dikenang, walaupun gak bagus-bagus amat sih... Hehehe.

Apa sih yang bisa kita bawa sampai mati selain amal jariyah? Ilmu yang bermanfaat itulah salah satu amal jariyah yang "paling mudah". Karena gak butuh biaya dan gak harus jadi orang kaya dulu.

Sebatas karena saya menyukai coret-coret. Dan menjadikan kegiatan semacam ini sebagai penghibur diri dan pembentukan karakter. Itu saja. Pikir saya, buat apa nulis novel atau analogi puisi. Nulis itu ya mbok sesuatu yang berguna buat diri sendiri saja. Punya karya tulis, itu sekedar kepuasan kecil yang sebenarnya gak saya butuhkan. Apa untungnya jadi terkenal. Malah privasi bisa terganggu. Hehehe.

Dengan teknik free writting, penulis boleh nulis apa saja. Yang penting konsisten setiap hari. Minimal ya sepuluh menit sehari. Apa saja, pokoknya yang penting ada aktivitas nulis dulu. Benar-benar apa saja. Gak nyambung sekalipun. Isinya curhat galau atau apapun, sing penting nulis.

Memiliki cita-cita dan impian itu kan penting. Tapi lebih penting lagi adalah memiliki kerja nyata dan bukti. Ada tindakan kelanjutan. Yah, jika bayangan tentang masa depan sudah ada, bagaimana kita memulainya? Mulailah dengan konsistensi. Keistiqomahan. Lama-lama juga akan menemukan jati diri.

Dan hal ini bisa terjadi dalam bidang apapun saya kira. Bukan hanya menulis. Sesuai bakat masing-masing. Pidato, ngaji, berdiskusi dan Bahtsul Masail, atau apapun. Awal-awal gak harus langsung bagus. Yang penting kan ada aksi nyata dulu.

"Menulis itu pekerjaan mental, sehingga tak bisa didekati semata dengan pendekatan-pendekatan murni praktikal teknis seperti halnya belajar setir mobil atau kursus teknisi HP.

Pendekatan kepenulisan akan lebih efektif bila berawal dari rekonstruksi sikap mental dan cara berpikir, salah satunya dengan mengubah kebiasaan.

Free writing membantu kita menambahkan kebiasaan baru dalam hidup, yaitu menulis secara self-discipline (kita sendiri yang bergerak, tanpa pengawasan orang lain).

Dari nulis tanpa tujuan, ketika kebiasaannya telah terbentuk ("rasanya gatel kalo nggak nulis"), nanti tulisan-tulisan kita akan menemukan bentuknya sendiri seolah bahkan tanpa perlu diusahakan dan direncanakan."

Kalau sudah terbiasa, lama-lama akan memiliki karakter dengan sendirinya. Karakter itulah yang saya kira penting. Sebagai ciri khas setiap penulis.

Daripada langsung nulis novel tebal, mulailah dengan beberapa cerpen. Yang penting konsisten setiap hari. Daripada mau buat karya ilmiah, mulailah dengan esai-esai sederhana. Sebab jadi orang seperti Stephen King atau Agatha Christie itu ya gak gampang. Butuh bakat besar, disamping tentunya memiliki keberuntungan besar.

Biasa yang namanya dalam proses nulis kok ditengah jalan mengalami writer block. Atau macet ide. Gak tahu lagi tiba-tiba mau nulis apa. Apalagi kalau sudah nulis buku tebal semacam novel. Atau apalah. Writer block itu problem universal yang sangat klise. Penulis besar sekalipun saya kira pernah mengalaminya.

Makanya penting untuk tahu tekniknya. Seperti membuat outline. Atau kerangka. Bagaimana membuat lead yang bagus. Bagaimana agar pembaca gak bosan. Itu semua ada teorinya.

Namun saya kira gak begitu ada untungnya ikut kursus kepenulisan atau apapun, tapi hanya sebatas berhenti dalam teori. Tahu teori tapi gak dipraktekkan ya sama saja bohong. Mulailah dengan sesuatu, dan sedikit demi sedikit belajar teorinya sambil berjalan.

Tapi saat ini saya gak begitu butuh teknik semacam itu. Lah, yang penting mau nulis dulu aja udah bagus. Tulisan saya gak harus bagus. Gak ada aturannya. Gak ada pedoman. Yang penting saya nyaman, dan andaikata ada yang kebetulan ikut baca juga merasa nyaman. Itu saja. Meskipun menyalahi aturan, seperti tiba-tiba membahas sesuatu yang jauh melenceng dari ide pokok.

Saya sebenarnya tahu kalau hal semacam itu bukan termasuk cara membuat tulisan yang baik. Tapi secara sadar saya sering melakukannya. Dan gak saya sesali. Karena itulah kesempatan bagi saya untuk menulis ide. Dan sekaligus membentuk karakter dari ide tersebut. Istilahnya mungkin, sedang menghipnotis diri sendiri dengan tulisan.

Menulisnya pun bisa kapan-kapan. Benar-benar kapan saja. Kadang tiba-tiba tengah malam saat gak bisa tidur. Atau bahkan bangun tidur saat teringat mimpi yang baru saja saya alami. Gak tahu maksudnya apa. Ditengah makan dan minum tiba-tiba teringat sesuatu. Sedang menonton film atau televisi kemudian terlintas sesuatu. Gak ada waktu harus jam berapa.

Sebab ide itu gak bisa diundang harus datang jam berapa. Kadang ide datang di situasi dan kondisi yang gak tepat. Sayang, kalau gak ditulis bisa hilang menguap begitu saja. Intinya, saya sendirilah yang harus siap kapan saja. Bawa ponsel atau buku catatan.

Banyak sekali tulisan yang berhenti pada ide pokok. Gak saya selesaikan sekaligus. Hanya kerangka. Baru bisa saya selesaikan kadang beberapa hari setelah menemukan bacaan pendukung. Atau keterangan tambahan.

Saya berusaha untuk tidak membuat diri terbebani dengan mengharuskan setiap hari harus menulis. Setiap hari harus menyelesaikan sekian halaman buku. Atau harus menulis tiap jam berapa. Intinya adalah bagaimana saya merasa nyaman dan menikmati.

Terburu-buru adalah hal yang gak baik saat menulis. Memburu popularitas juga hal yang gak baik. Menulis dan menerbitkan tulisan saat itu juga merupakan kebiasaan buruk. Berilah jeda waktu minimal satu hari. Sebab kita gak tahu, saat sedang menulis tulisan tersebut, mungkin dalam kondisi jiwa yang gak stabil. Sedang emosi, atau sedang sedih. Hingga tulisan tidak bisa objektif. Dan terkesan seperti orang marah-marah. Atau orang yang kecewa.

Gak ada rumus pasti. Tapi kalau saya, selalu berusaha membudayakan untuk membaca ulang tulisan minimal dalam jeda waktu satu hari. Biasanya pagi hari bagi saya adalah waktu dimana emosi dan kondisi jiwa benar-benar tenang. Hingga bisa mengoreksi kesalahan tulisan kemarin dengan pandangan yang jernih.

Biasanya saya menulis sekaligus semua ide dalam satu tulisan panjang. Pokoknya saya tulis semua. Entah mau sepanjang apapun. Gak peduli yang baca sampai mbelenger. Atau bahkan akhirnya gak dibaca. Kalau merasa butuh ya mereka akan baca. Karena menulis bagi saya adalah waktu terbaik untuk sambil muhasabah dan sambil membentuk karakter saya sedikit demi sedikit. Menjadikan sebuah tulisan itu lebih dulu bermanfaat untuk diri sendiri adalah hal paling penting bagi saya dalam sebuah proses kreatif.

Ibarat saya baca buku, terus menyimpulkan kembali. Itu aja. Seperti mengikuti mata kuliah dan saya mencatat itu.

Dosennya ya senior-senior saya yang mau berbaik hati mengoreksi kesalahan kesimpulan saya. Baik di Facebook, Quora, Kompasiana, atau Goodreads, dan forum diskusi tertentu. Sebab saya gak bilang kalau apa yang saya tulis pasti benar. Tapi setidaknya saya berani mempertanggungjawabkan tulisan itu kelak. Karena saya berani menulis, saya berani bertanggung jawab.

Berani menyampaikan ilmu agama, atau berfatwa kepada masyarakat, berarti siap bertanggung jawab atas konsekuensi apapun kelak jika hukum yang diberikan ternyata salah. Atau ibadah orang yang bertanya jadi tidak sah. Atau berdosa. Misalnya demikian.

Dikira gampang jadi seorang ulama? Tanggung jawabnya luar biasa berat. 

***

Tahu teknik free writting, atau yang penting ada aksi, membuat saya ingat nasihat guru saya. Awal-awal masih belajar ngaji, sing penting ngaji. Pokok opo wae, sing penting ngaji kanti istiqomah. Nanti lama-lama akan terbentuk karakter keilmuan.

Dan saat karakter itu sudah terbentuk, selanjutnya adalah diarahkan. Karena sudah punya pondasi dan bisa konsisten, akhirnya lebih fokus untuk mendalami satu bidang ilmu tertentu. Yang nantinya dijadikan spesialisasi utama. Setelah paham fikih, paham gramatika, paham hadis, kemudian lanjut dari sekian itu manakah yang paling akan didalami.

***

Internet itu tempat paling aman. Handphone saya bukanlah iPhone tahan banting, dan gak ada jaminan handphone saya bisa awet sampai kapan. Jadi, nyimpen tulisan di ponsel itu tidak aman. Lagipula saya gak punya laptop dan komputer.

Saya akhir-akhir ini lebih nyaman nulis di Quora. Tampilan lebih nyaman, juga banyak senior, dan entahlah. Tapi di Facebook ini banyak guru-guru saya dan senior saya juga. 

Saya selalu berharap jika ada yang keliru dari tulisan saya, karena disini banyak yang lebih senior, lebih alim, ada yang berbaik hati mau mengingatkan. Yang namanya masih proses belajar seperti saya, kalau tanpa ada yang mengingatkan dan membimbing, jika saya sampai salah itu repot. Karena gak tahu salahnya dimana.

Saya gak tahu pendapat pribadi saya itu kadang salah atau benar sampai saya berani mengungkapkannya. Bukan kok saya mau memberi tahu atau menggurui. Atau bahkan menyuruh mengikuti omongan anak kecil seperti saya. Tidak sama sekali. Saya cuma bilang, kalau saya berpendapat begini itu salah atau benar?

Salah itu manusiawi. Yang gak manusiawi itu kalau terlalu takut salah. Gak mau disalahkan. Atau gak mau belajar dari kesalahan.

Terimakasih.

Wallahu a'lam.

08 Mei 2020 M.

referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun