Berawal dari obrolan santai dengan sahabat saya. Sebenarnya tadinya saya gak tertarik juga membahas hal ini. Terlalu jauh dari kapasitas untuk mewujudkan pemikiran kecil ini jadi nyata. Tapi, mungkin boleh saja sejenak berandai-andai dalam teori.
Saya jadi ingat keterangan KH. Bukhori Masruri tentang KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur jika memiliki pandangan dan ide, akan diperjuangkan sekuat tenaga. Meskipun  seorang diri. Menurut keterangan kiai Bukhori tadi. Termasuk dulu dalam ide NU kembali ke khittah, yang dalam mau'idhotul hasanah Kiai Bukhori juga termasuk ide Gus Dur sejak masih menempuh pendidikan di Baghdad.
***
Tapi sudah, akhir-akhir ini gak pernah lagi nonton perdebatan sengit. Sudah jadi jiwa-jiwa yang lebih memilih tampil sebagai penonton setia saja. Kalau bagus ya kasih dukungan dengan tombol like. Kalau merasa terganggu ya blokir.
Rasanya jadi eman-eman, saat sampai harus menghabiskan tenaga dan emosi untuk menanggapi, katakanlah aliran di luar NU yang terlalu ekstrim. Ada hal yang menurut saya sebenarnya lebih penting.
Andaikan saja, perhatian lebih itu bisa dicurahkan pada orang-orang netral yang punya rasa penasaran tinggi dengan agama. Mereka ini butuh arahan. Mereka tanpa diarahkan mungkin bisa rentan. Mudah diajak kemana saja. Jika hati sudah telanjur tertarik.
Masih ingat toh, kemarin ada lagu yang rame-rame itu... Atau dulu juga pernah ada geliat tentang ajakan untuk "berhijrah". Dan itu mendapat banyak respon yang positif.
Saya hanya berandai-andai, mungkinkah ada yang bisa langsung memanfaatkan momen tersebut dengan estafet? Mumpung masih hangat. Maksudnya, fenomena itu sepertinya menjadi semacam kesempatan emas. Maka bagus sekali kalau ada yang bisa membuat arah lanjutan. Menuju hal yang semakin baik. Dengan kemampuan masing-masing.
Bikin sebuah lagu religi jadi viral itu loh gak gampang. Banyak lagu-lagu bagus, tapi ya biasa-biasa aja. Gak sampai semua orang suka dan ikut bicara. Nha, kalau melulu mau dicari-cari kontroversinya, hal apa sih yang gak bisa digoleki salahe?
Hanya saja, kalau santri ya jangan terlalu ikut-ikutan. Maksudnya, kalau belajar sejarah nabi masih dari lagu juga, ya kebangetan. Sasaran lagu itu kan sudah lain. Bukan dibuat untuk orang yang sudah tahu betul. Santri dan akademisi ya belajarnya dari kitab-kitab Siroh Nabawiyah.
Saya ingat dulu ada komentar di lagu Din Salam. Dari non muslim. Mereka jadi terharu dan tertarik dengan nilai-nilai yang dipesankan dalam lagu tersebut. Sekarang kapan lagi menanamkan ketertarikan kepada non muslim tentang Islam, kalau salah satunya gak lewat pendekatan halus semacam itu.
Saya berandai-andai, jika saja bisa pembahasannya tidak hanya berhenti sampai di situ, lalu hilang. Dan dilupakan. Atau malah berkutat dan hanya berputar-putar mbahas itu saja. Lalu tidak berkembang. Saya cuma berandai-andai, dan berharap kalau ada kelanjutannya. Itu sebuah awal yang baik. Bagus kalau diteruskan sebagai estafet. Dengan ada kelanjutan ke jalur yang lebih baik. Dan semakin baik. Mengarah menuju pemahaman yang makin menunjukkan Islam itu indah. Ajaran Islam sebenarnya itu mudah. Dengan membentuk pemahaman itu sedikit demi sedikit.
Berawal dari sebuah media dakwah, yang mendorong mereka tertarik untuk tahu lebih dalam tentang Islam.
Ulama sepuh tanah Jawa bukankah ada juga yang demikian. Menanamkan rasa suka kepada Islam untuk masyarakat awam sampai menggelar wayang. Mengajarkan tembang. Tapi pelan-pelan disisipi nilai moral. Lama-lama digiring untuk mengenal Islam seutuhnya. Luar biasa. Pertunjukan Ki Enthus Soesmono juga bagus.
Seperti dakwah dengan sholawat. Mengajak masyarakat umum bersholawat. Mereka yang gak kenal kiai akhirnya jadi suka sama kiai. Sedikit demi sedikit gelaran sholawat disisipi dengan tabligh akbar. Ada ceramah agama walaupun sebentar. Jika sudah ada rasa suka dan seneng, sedikit demi sedikit ditambah. Dan lama kelamaan diarahkan untuk ngaji sepenuhnya. Tentu saja prosesnya lama.
Sayang sekali kalau berhenti di awal, padahal banyak yang mulai tertarik. Namun gak ada kelanjutannya.
Kemarin ada anak kecil yang jadi penasaran dengan Sayyidah 'Aisyah. Pingin diceritani. Betapa senengnya saya dengar kabar semacam itu. Seorang anak kecil yang  senang kepada ahlul bait kanjeng nabi Muhammad Saw. Itu padahal anaknya yang punya inisiatif. Andaikan orang tuanya juga. Misalnya ibunya berkata, "nak, kamu suka lagu kemarin itu toh? Ini saya ceritani kisahnya..."
Tentunya gak mungkin membahas hal yang terlalu sulit kepada masyarakat. Masalah sulit itu konsumsi pribadi. Pembahasan untuk forum terbatas.
Disadari atau tidak, sekarang sulit untuk bisa mencapai tujuan akhir seorang diri. Mungkin harus ada kerjasama yang kuat. Menarik masa dilakukan oleh mereka yang punya kecerdasan sosial tinggi. Jika masa sudah terkumpul, mereka yang punya kecerdasan intelektual mumpuni bisa segera mengambil alih.
Di awal-awal memang seperti angin. Yang arahnya gak tertebak. Mungkin itu malah bisa berbahaya. Saya cuma berandai-andai, jika banyak dari kita yang bisa menangkap arah angin itu. Dan membawanya kepada kebaikan seutuhnya. Perlahan-lahan. Kakek moyang yang memulai, anak cucu yang menikmati.
Mereka yang mengawali dengan bikin lagu, atau membuat pondasi dengan inti yang semacam itu, ibarat para nelayan yang menyiapkan kapal. Lalu beberapa saat kapal itu penuh penumpang. Dan kapal itu berlayar ke tengah laut. Sadarkah betapa berbahayanya perjalanan itu tanpa adanya nahkoda? Di atas samudra, sebuah kapal tanpa kemudi bisa terjebak dalam sisi gelap lautan. Atau bahkan ditenggelamkan badai dan ombak raksasa.
Banyak yang sudah berbondong-bondong naik kapal. Tapi ada saja orang yang malah meruntuhkan dan melubangi kapal itu. Atau meninggalkan pantai, dan peduli pada hal-hal lain. Melupakan yang sebenarnya lebih butuh arahan. Padahal kita tahu, betapa susahnya mengumpulkan penumpang. Tapi berhubung kapal tak segera berlayar, akhirnya penumpang bisa bubar dengan sendirinya.
Tegakah, jika kapal itu berjalan tanpa arah? Atau kapal itu kembali kosong tanpa penumpang?
Wallahu a'lam.
Betapa mudahnya saya ngomong masalah teori. Pada praktiknya nanti, apa sih yang bisa saya lakukan?
13 April 2020 M.
Saya selalu ingat nasihat itu, jangan nulis saat sedang emosi. Sedang terlalu sedih, atau terlalu bahagia. Nanti tulisanmu bisa berubah warna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H