Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Arus Informasi, Media, dan Berita Hoaks

22 Agustus 2020   06:13 Diperbarui: 22 Agustus 2020   07:22 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
catsofinstagram.com

Arus informasi sudah hampir tak ada bedanya seperti sungai. Bahkan kadang lebih mirip banjir. Mengapa sungai? Seperti sungai, dengan memiliki ponsel, kita terpaksa mau tak mau harus mendapatkan informasi. Ini yang saya rasakan. Seberapapun gak ingin tahunya tentang berita, saya terpaksa mau tidak mau akhirnya jadi tahu. 

Seberapapun saya sampai blok akun-akun yang tidak perlu, dan memanfaatkan algoritma media sosial yang mengisolasi penggunanya dengan semampu saya, tetap gak bisa dibendung. Sudah seperti banjir. Orang tetap saja membahas sesuatu yang sedang hangat. Baik dengan jalan terang-terangan, bahasa yang lugas, atau bahkan bahasa satire. Terpaksa jadi tahu ada apa.

Tapi seperti halnya sungai, air yang mengalir dari sungai sebenarnya adalah air jernih. Yang benar-benar bisa berguna bagi kehidupan. Tapi sejernih-jernihnya sungai, tetap saja ada air keruh yang turut serta, tetap saja ada sampah yang ikut terbawa. Jadi bukan hanya hal positif, tapi mau gak mau juga ada hal negatif. Tidak mungkin rasanya, orang memanfaatkan media sosial saat ini demi mencari sesuatu yang dibutuhkan dirinya saja, dan yang berguna bagi dirinya saja. Mau tidak mau, ada juga informasi yang tidak dibutuhkan, tapi akhirnya lewat di timeline. Nyelonong begitu saja tanpa permisi.

Syukurlah tahun politik sudah selesai. Saat periode pilpres kemarin. Mau tak mau orang harus melihat perdebatan tentang kampanye politik. Karena memang dilakukan dengan sangat masif. Banyak kontroversi berlebihan. Dan isu yang sebenarnya melenceng dari kenyataan. Dan hal inilah yang menarik buat orang. 

Akhirnya jadi banyak orang yang benci tanpa pernah bertemu. Jadi benci tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang dibenci. Benci cuma karena orang lain benci. Lalu membuat kubu-kubu. Sayang sekali, siklus lima tahunan ini mungkin akan kembali lagi.

Hampir semua pengguna internet mengalami masa pubertas di medsos. Ingin viral. Puas kalau postingan dibaca banyak orang. Puas kalau ada yang like dan share. Puas saat punya banyak follower. Tanpa peduli siapa saja yang di follow. Rasanya kalau dipikir kembali, mengalami kondisi semacam itu seperti kita jadi anak-anak lagi. 

Padahal usia sudah hampir kepala tiga. Kedewasaan dalam dunia nyata sering tidak diimbangi dengan kedewasaan di media sosial. Sering pakai nama palsu. Sering pakai foto palsu. 

Seperti dawuhnya Gus Mus, aw kama qola, orang sembunyi dibalik foto profil bergambar monyet. Memang ada orang yang bermasalah dengan privasi. Sehingga fotonya gak mau disebar. Tapi bersembunyi dibalik fake akun dan foto palsu demi menulis sesuatu yang bisa memancing keributan? Apa bedanya dengan anak kecil yang melempari rumah tetangga lalu kabur. Gak mau bertanggung jawab.

Sekarang orang bisa bebas share informasi. Siapapun boleh. Dan informasi apapun. Kita masih sering melihat, atau bahkan mengalami sendiri, saat menemukan postingan yang menarik, lalu hanya karena baper akhirnya di share. Hanya karena bagus di share. Hanya karena hal sepele. Atau iseng. Sudahkah di cek faktanya?

Usahakan cek fakta dengan google image. Untuk mengetahui apakah gambar yang kita dapat asli atau hoax. Kalau memakai browser dekstop mudah. Tapi yang agak sulit kalau pakai ponsel. Makanya perlu aplikasi tambahan. Cobalah aplikasi ini,

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.palmteam.imagesearch

Aplikasi sejenis ini banyak di Playstore. Dan cukup ampuh menangkal hoax. Walaupun tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Setidaknya mencoba meminimalisir.

Mencari berita dan sumber bacaan dari situs dan penulis, juga penerbit yang kredibel itu penting. Wong yang kredibel saja bisa salah, apalagi yang tidak.

Saya masih sering melihat, banyak situs dan media milik Wahabi seperti almanhaj, rumaysho, jaringan Rodja, dsb. Mau diakui atau tidak, dakwah mereka militan di dunia maya. Semangat mereka luar biasa. Bahasanya juga sederhana. Mudah dipahami masyarakat. Mengangkat tema yang hangat. Pembahasannya ringan dan banyak yang dibutuhkan. Salut. Tidakkah kita, sebagai orang NU merasa kecolongan? 

Padahal sebenarnya SDM NU untuk bersaing dengan mereka secara fair lebih banyak. Tidak perlu diladeni kalau ada amarah. Tulisan diimbangi dengan tulisan. Ceramah diimbangi dengan ceramah. Pakai cara yang dewasa. Saya gak ada masalah sama mereka. Selama isinya bisa dipertanggungjawabkan. 

Saya juga kadang sering, kalau memang cari bacaan di situs NU gak ada, terpaksa juga buka di situs Wahabi. Cuma agak khawatir, agak resah kalau yang tidak tahu akhirnya menaruh simpati, dan jadi langganan situs mereka. Di platform youtube banyak kajian Adi Hidayat, Khalid Basalamah, dsb. Mereka ini yang laku, ya salah satunya karena bahasa mereka memang mudah dicerna. Penyampaiannya ringan. Dan masyarakat sering tidak peduli dengan siapa penceramahnya. Yang penting isinya bagus dan menarik. Sekarang aktivis pemuda NU sudah mulai semangat. Sudah banyak yang menyadari pentingnya merangkul masa lewat internet.

Sudah cukup. Kembali lagi ke tema. Sekarang ini sedang menggejala adanya framing media. Dalam beragam tulisan, ada campur aduk antara kenyataan objektif dengan asumsi atau sekedar persepsi subjektif. Hati-hati saat membaca, karena bisa tertipu mentah-mentah.

Ingatkah berita tentang gadis Surabaya itu? Audrey Yu atau siapalah namanya. Yang konon mau menemui presiden Jokowi di KTT G-20. Masih kecil sudah kuliah di luar negeri. Tapi di Indonesia tak diperhatikan. Beritanya viral. Dan kita tertipu mentah-mentah oleh media online. Karena itu ternyata Hoax. 

Sejak awal saya sudah curiga, meskipun beritanya di share gila-gilaan. Banyak media online besar membuat artikel berseri. Tapi isi beritanya seolah tidak masuk akal buat saya pribadi. Jadi saya gak berani bilang apapun. Baru ada klarifikasi setelah diruntut asal usulnya. Saya berterima kasih sama aktifis seperti mas Ismail Fahmi. Yang serius dalam menangani dunia digital. Ternyata sumbernya cuma dari tweet.

Iya saya tahu, wartawan juga cari uang. Wartawan media online itu kerjanya benar-benar militan. Salut. Informasi sekecil apapun mereka kuasai. Ada beritanya. Sampai kisah yang super tidak penting tentang Nia Ramadhani yang konon katanya tak bisa mengupas salak. Dan anehnya malah laku. Kalian butuh uang, tapi mohon jangan berlebihan, lantas sembunyi dibalik UUD kebebasan press. 

Mohon jangan menganut doktrin bad news is good news. Ingat kasus pernyataan anggota KPAI? Seharusnya pas dialog tentang kolam renang itu dipotong. Tidak usah diberitakan. Prinsip jurnalistik profesional seharusnya mengedepankan edukasi. Bukan memancing kontroversi. Malah berita kolam renang itu yang dibesar-besarkan. 

Sejujurnya saya belum pernah lihat videonya. Ingat untuk sayangi kuota. Cuma baca di timeline. Kok semua orang mbahas ini ada apa? Setelah cari tahu akhirnya sadar, oh ini gara-gara media online gak bisa menyaring berita yang harus diberitakan dan yang harus disimpan. Mana yang bermutu, dan mana yang cuma sekedar memancing opini dan ujaran kebencian.

 Orang akhirnya jadi geger. Iya, bener rating mereka naik. Tapi lihatlah apa akibat baiknya? Informasi seperti itu bisa sampai lolos ke masyarakat, menunjukkan kalau mereka amatir.

Kasus lain yang saya geleng kepala, adalah kasus tentang Joshua Suherman. Ada media online yang wawancara. Terkait batalnya acara dia di Singapura karena ada bahaya Covid-19. Media online tanya, "kesel nggak?" Sebenarnya mas Jojo gak mau statemen apapun tentang virus. Bukan ahlinya. Tapi begitu ditanya bagaimana perasaan karena acaranya batal, apakah kesal? Diiyain. 

Akhirnya media online bikin judul "Joshua Suherman kesal karena batal .... terkait virus Corona." Sebenarnya maksud mas Jojo bukan begitu. Saya tahu. Tapi akhirnya komentar netizen jadi salah paham. Mengira mas Jojo tidak punya simpati. Komentar lain yang penting malah diabaikan. Cuma memotong di bagian yang memicu salah paham.

Kasus dokter Terawan juga hampir sama. Sekedar contoh saja, saat awal-awal Covid-19 merebak, Pak Terawan ditanya bagaimana tanggapan sebagai Menkes. Beliau jelasin panjang lebar, dari imunitas, cukup makan, olahraga dll plus ada kalimat "enjoy aja.." Tebak lah headline judul berita media online. 

Judulnya "Corona merebak, Menkes bilang enjoy aja." Masalah imunitas, cukup makan, dan pentingnya olahraga malah tidak disinggung sebagai judul yang mengedukasi. Padahal maksud beliau "enjoy aja" saya yakin gak senegatif itu. Tentunya beliau ingin agar kita tak perlu takut, cukup jaga kesehatan dan hidup seperti biasa. 

Lalu ketika sudah heboh dan Indonesia belum terkena, komentar Menkes adalah sebenarnya bernada gak serius. "Selain imunitas, juga karena doa." Lalu media membelokkan dengan judul "Belum ada Corona, Menkes jawab karena doa". Apakah mereka salah? Tidak. Tapi apakah mereka jahat? Mungkin saja. Diksinya kurang tepat.

Tentu saja berita menghebohkan dan hoax itu menguntungkan. Iya menguntungkan secara ekonomi. Ada artis yang sebenarnya gak laku, tapi karena ada kontroversi akhirnya diundang kemana-mana. Followers naik secara instan. Banyak endorse. Ngisi acara kemana-mana. Media online juga jadi banyak bahan buat ditulis.

Saya seneng dengan saran kiai Ulil Abshar Abdalla. Media seharusnya menautkan nama terang penulis. Biar orang kalau kritik bisa ke penulis. Tapi orang biasanya hanya lihat ke nama perusahaan. Gak peduli penulisnya. Tentunya juga karena tak kenal. Ini penting seperti saat seleksi hadis maudhu'. Dari rawi yang dhaif. Kalau A pernah nulis hoax, berita selanjutnya dari A itu harus terus diteliti. Jangan-jangan dia nulis hoax lagi. Ini bukan suudhon atau curiga. Tapi waspada. Kita menutup pintu rumah bukan karena suudhon sama tetangga yang mau maling, tapi pencegahan. Waspada demi kebaikan bersama.

Ini baru masalah berita. Kalau sudah sampai kajian sejarah lebih sulit lagi. Contoh saja kisah keruntuhan Majapahit. Pertama kali belum teliti saya curiga. Mana mungkin seorang Raden Patah menghkianati ayah sendiri. Terlebih di Demak ada sesepuh dan majelis ulama. Ceritanya saja sudah tidak logis. Kalau didukung dengan penelitian tahun, mungkin akan segera ketahuan. Ini sebenarnya pembahasan yang sensitif dan rawan dinarasikan oleh golongan yang berkepentingan. Saya pingin bahas Tom Pires, tapi lain waktu saja.

Jadi penulis itu memang enak, bisa menggiring pembaca dalam opini. Memotong sebagian narasi. Pemahaman yang didapat pembaca jadi gak utuh. Dan akhirnya pemahaman pembaca sesuai dengan kemauan penulis.

Contoh kecil menggiring opini. Bahasa itu mempengaruhi psikologis. Kalau seseorang menulis harga barang 1.999.000 atau harga barang adalah 2.000.000. Orang akan lebih memilih harga kedua. Barang ini mengandung lemak 20 persen. Sedangkan ini bebas lemak 80 persen. 

Orang akan memilih barang kedua. Padahal aslinya sama. Pemerintah akan mengatakan 80 persen rakyat sejahtera. Tapi yang benci sama pemerintah akan pakai bahasa yang lain. Misalnya, 20 persen masyarakat masih miskin. Akhirnya ada kesan negatif. Dan prestasi 80 persen jadi hilang sama sekali. Gak diperhatikan dan gak dianggap. 

Ini perlu disadari. Lebih-lebih kalau sudah ditambahi dalil. Sekarang orang begitu sensitif dengan tema agama. Jadi mohon tidak memancing keributan. Ada tulisan, berita. Terus dikasih dalil fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Wal fitnatu asyaddu minal qotl. Bagi orang awam mereka langsung percaya. Tapi pahamkah maksud ayatnya? Apakah fitnah dalam dalil tersebut benar artinya ujaran kebencian? Padahal setahu saya bukan demikian maksud ayatnya. Wallahu a'lam.

Jangan mudah terbawa psikologi dan giringan opini penulis. Tapi belajar untuk mengurut benang merah. Kalau bisa menguasai diri tidak mudah di kemudikan oleh tulisan orang. Yang menarik dari tulisan memang kadang bukan isinya. Tapi pembawaannya. Saya pernah kecewa lihat film 5cm. Lebih baik baca novelnya. Iya, novelnya lebih bagus dalam pembawaan bahasa. Dibandingkan filmnya, yang hanya karena lebih populer. Bacalah novelnya. Sesekali. Kadang membaca buku saya bukan penasaran sama isinya, tapi ingin tahu bagaimana penulis menyampaikan ceritanya.

Kalau bingung mau menulis dari mana? Mulailah dari hal yang paling dikuasai. Dan hal yang menyenangkan menurut kita. Nanti lama-lama juga akan belajar hal lain. Mau gak mau waktu akan menuntun. Seperti ibadah, mendoktrin orang, pertama gak harus bisa langsung ikhlas. Tapi bertahap. Yang penting dilakukan secara konsisten. Bagaimana bisa konsisten? Buatlah kegiatan itu jadi semenyenangkan mungkin. Awal-awal, anggap saja ini sekedar have fun.

Intinya sederhana. Gak semua orang bisa membuat konten. Jadi setidaknya, jadilah pembaca yang baik.

Jumat, 06 Maret 2020 M.
Sedang ingin curhat pagi ini. Tulisan suka-suka, jadi isinya juga suka-suka. Mohon dikoreksi kalau ada yang salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun